Sejarah Singkat Permesta dan Peran Dua Putra Manado

Tim iNewsManado
Pasukan Permesta. (Foto: Istimewa)

MANADO, iNews.id - Pemberontakan PRRI di barat dan Permesta di timur menumbuhkan berbagai macam alasan.
Dikutip Wikipedia, Utamanya bahwa kelompok etnis tertentu di Sulawesi dan Sumatra Tengah waktu itu merasa bahwa kebijakan pemerintahan dari Jakarta stagnan pada pemenuhan ekonomi lokal mereka saja, di mana dalam gilirannya membatasi setiap kesempatan bagi pengembangan daerah regional lainnya.

Juga ada rasa kebencian terhadap kelompok suku Jawa, yang merupakan suku dengan jumlah terbanyak dan berpengaruh dalam negara kesatuan Indonesia yang baru saja terbentuk.

Ketidakseimbangan terjadi karena ajang politik Indonesia terpusat di pulau Jawa, sedangkan sumber-sumber perekonomian negara lebih banyak berasal dari pulau-pulau lain.

Efeknya konflik ini sedikit menyoal pikiran tentang pemisahan diri dari negara Indonesia, tetapi lebih menitikberatkan tentang pembagian kekuatan politik dan ekonomi yang lebih adil di Indonesia.

Pada awal tahun 1957, pimpinan daerah di Makassar baik dari pemerintah dan dari militer mengunjungi Jakarta. Pada bulan Januari 1957, Letkol Muhammad Saleh Lahade dan Mayor Andi Muhammad Jusuf Amir (M. Jusuf) bertemu dengan KASAD Jenderal Abdul Haris Nasution.

Pada waktu itu, Lahade adalah Kepala Staf Komando Pengamanan Sulawesi Selatan Tenggara (Ko-DPSST), sedangkan M. Jusuf adalah Komandan Resimen Infanteri Hasanuddin (RI-Hasanuddin).

Kemudian pada bulan Februari, Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Pettarani bertemu dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Menteri Dalam Negeri R. Sunarjo.

Pangerang mendesak pemerintah pusat untuk mengupayakan otonomi yang lebih besar untuk daerah di Indonesia timur. Selain otonomi yang lebih besar untuk tingkat daerah, juga pembagian pendapatan pemerintah yang lebih banyak untuk daerah guna pelaksanaan proyek-proyek pembangunan lokal.

Sedangkan perwakilan militer dari Makassar berusaha mendesak pimpinan TNI Angkatan Darat (TNI-AD) untuk mendukung hal-hal yang sama yaitu otonomi daerah yang lebih besar dan pembagian pendapatan yang akan digunakan untuk pembangunan daerah setempat. 

Selain itu, mereka juga meminta agar Ko-DPSST yang berada di bawah naungan langsung dari Markas Besar TNI-AD (daripada di bawah Tentara dan Territorium VII (TT-VII) yang bermarkas di Makassar) segera digantikan dengan sebuah Komando Daerah Militer (KDM).

Pada akhir bulan Februari 1957, Andi Burhanuddin dan Henk Rondonuwu sebagai delegasi dari pemerintah Provinsi Sulawesi berangkat ke Jakarta sebagai upaya terakhir untuk mendesak pemerintah pusat tentang hal-hal yang dibicarakan bulan sebelumnya. Selain mereka, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual juga mengunjungi Jakarta untuk tujuan yang sama dan untuk bertemu dengan perwira-perwira yang simpatik terhadap usaha mereka. Pada tanggal 1 Maret 1957, Sumual bersama Burhanuddin dan Rondonuwu kembali ke Makassar karena upaya mereka tidak berhasil. Sebelumnya pada tanggal 25 Februari 1957, telah terjadi rapat pimpinan pemerintah dan militer di Makassar untuk merencanakan proklamasi Permesta bila tidak ada tanggapan konkrit dari pemerintah pusat.

Pada tanggal 2 Maret 1957 pukul 03.00 di kediaman gubernur di Makassar dan di hadapan sekitar 50 hadirin, Sumual memproklamasikan keadaan perang untuk seluruh wilayah TT-VII yaitu seluruh wilayah Indonesia timur.

Editor : Norman Octavianus

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network