MANADO, iNews.id – Keberadaan hewan langka di Manado, sering jadi problem tersendiri bagi pemerintah dan warga. Terjadi persoalan karena populasi hewan-hewan tersebut yang hanya berada di Sulawesi Utara, dan sisa sedikit tidak disadari warga karena masih memburunya.
BACA JUGA: Pasca Ditangkap Polisi, Ini Penampakan Perampok Money Changer Manado
Pemerintah lewat organisasi-organisasi pencinta hewan langka di Manado gencar melakukan pengawasan dan penindakan bagi warga yang memburu atau memelihara hewan-hewan tersebut. Berikut 4 hewan langka di Manado yang populasinya masih ada hingga saat ini.
1. Anoa. (Istimewa)
Anoa seperti kerbau atau banteng yaitu mirip dari bentuk kepala, tubuh dan kaki. Kulitnya berwarna gelap kecokelatan. Namun begitu, Anoa memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih kecil daripada kerbau biasa, sehingga kadang disebut Kerbau Mini atau Kerbau Cebol.
BACA JUGA: 1 Desember 2021, BCA Blokir Kartu ATM Lama
Anoa sebenarnya merujuk ke sebuah genus, bukan spesies. Dua spesies di dalam kelompok Bubalus adalah Bubalus depresicornis yang disebut sebagai anoa dataran rendah dan Bubalus quarlesi yang disebut sebagai Anoa dataran tinggi.
Sejatinya Anoa bisa ditemukan di berbagai wilayah seantero Pulau Sulawesi. Namun sayangnya, karena perubahan fungsi lahan dan berbagai perubahan kondisi alam, populasi Anoa kini menurun. Kita bisa menemukan Anoa di sekitar Pulau Buton, atau di hutan-hutan di Bolaang Mongondow dan Gorontalo.
2. Yaki atau Wolai. (Istimewa)
Yaki atau Monyet wolai atau Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) adalah satwa endemik Indonesia yang hanya terdapat Pulau Sulawesi bagian utara dan beberapa pulau di sekitarnya. Cirinya yang khas dari yaki adalah warna seluruh tubuhnya yang hitam dan memiliki rambut berbentuk jambul di atas kepalanya, serta memiliki pantat berwarna merah muda.
Wolai atau Yaki memiliki ekor 20 cm sehingga tampak lebih pendek jika dibandingkan jenis kera lainnya. Namun begitu, tinggi tubuhnya sekitar 44—60 cm dan bobot 7—15 kilogram. Ini membuatnya tampak cenderung lebih besar daripada kera-kera lainnya.
Seperti kebanyakan hewan kelompok kera-keraan lainnya, Beruk Hitam Sulawesi memakan berbagai tumbuhan dan buah. Namun begitu, mereka juga bisa memakan serangga, siput, atau invertebrata kecil. Populasi wolai saat ini terbatas di sekitar Cagar Alam Tangkoko, Bitung, mulai Cagar Alam Tangkoko Batuangus bagian utara hingga ke sungai Onggak Dumoga. Selain itu, mereka juga bisa ditemukan di berbagai hutan lindung di Sulawesi Utara, seperti Cagar Alam Dua Saudara, Pulau Bacan, Manembo Nembo dan Kotamobagu.
3. Tarsius. (Istimewa)
Tarsius adalah primata dari genus Tarsius, suatu genus monotipe dari famili Tarsiidae, satu-satunya famili yang bertahan dari ordo Tarsiiformes. Meskipun grup ini dahulu kala memiliki penyebaran yang luas, akan tetapi semua spesies yang hidup sekarang jumlahnya terbatas dan ditemukan di pulau-pulau di Asia Tenggara.
Fosil wallacea dan primata robert Tarsiiformes lain ditemukan di limbah pembuangan Asia, Eropa, dan Amerika Utara dan ada fosil yang diragukan yang berasal dari Afrika, tetapi Tarsius Darwin yang bertahan hingga sekarang jumlahnya terbatas di beberapa kepulauan di Asia Tenggara termasuk Filipina, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra. Catatan fosilnya juga yang terpanjang kesinambungannya dibanding genus primata manapun dan catatan fosil itu menandakan bahwa susunan gigi mereka tidak banyak berubah, kecuali ukurannya, dalam 45 juta terakhir.
Posisi filogenetik tarsius yang hidup sekarang banyak diperdebatkan pada abad yang lalu, dan tarsius diklasifikasikan secara bergantian pada Strepsirrhini pada subordo prosimia, atau sebagai grup saudara dari simia (=Anthropoidea) dalam infraordo Haplorrhini.
4. Burung Manguni atau Burung Serak. (Istimewa)
Serak Sulawesi (Tyto rosenbergii) adalah spesies burung hantu dalam famili Tytonidae. Burung ini endemik di Pulau Sulawesi, Sangihe, dan Kepulauan Banggai. Ordo Strigiformes terdiri dari dua suku (familia), yakni suku burung serak atau burung-hantu gudang (Tytonidae) dan suku burung hantu sejati (Strigidae). Banyak dari jenis-jenis burung hantu ini yang merupakan jenis endemik (menyebar terbatas di satu pulau atau satu wilayah saja) di Indonesia, terutama dari marga Tyto, Otus, dan Ninox.
Kebanyakan jenis burung hantu berburu di malam hari, meski sebagiannya berburu ketika hari remang-remang di waktu subuh dan sore (krepuskular) dan ada pula beberapa yang berburu di siang hari.
Mata yang menghadap ke depan, sehingga memungkinkan mengukur jarak dengan tepat; paruh yang kuat dan tajam; kaki yang cekatan dan mampu mencengkeram dengan kuat; dan kemampuan terbang tanpa berisik, merupakan modal dasar bagi kemampuan berburu dalam gelapnya malam. Beberapa jenis bahkan dapat memperkirakan jarak dan posisi mangsa dalam kegelapan total, hanya berdasarkan indra pendengaran dibantu oleh bulu-bulu wajahnya untuk mengarahkan suara.
Burung hantu dikenal karena matanya besar dan menghadap ke depan, tak seperti umumnya jenis burung lain yang matanya menghadap ke samping. Bersama paruh yang bengkok tajam seperti paruh elang dan susunan bulu di kepala yang membentuk lingkaran wajah, tampilan "wajah" burung hantu ini demikian mengesankan dan kadang-kadang menyeramkan. Apalagi leher burung ini demikian lentur sehingga wajahnya dapat berputar 180 derajat ke belakang.
Editor : Fabyan Ilat
Artikel Terkait