JAKARTA, iNEWSMANADO.ID — Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025 memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Revisi terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 ini menuai pro-kontra, terutama terkait perluasan kewenangan militer dan implikasinya terhadap tata kelola sipil.
Proses pembahasan yang dimulai sejak Februari 2025 melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan organisasi sipil.
Meski mendapat penolakan dari sejumlah kelompok, DPR tetap mengesahkan revisi ini setelah melalui serangkaian diskusi.
UU TNI 2025 menambahkan dua tugas pokok dalam operasi militer non-perang: pertama, penanganan ancaman siber, dan kedua, perlindungan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Perubahan ini diharapkan memperkuat posisi strategis TNI dalam merespons tantangan global.
Selain itu, revisi Pasal 47 memperbanyak bidang jabatan sipil yang boleh diisi prajurit aktif, dari sebelumnya 10 menjadi 14 instansi.
Namun, penugasan ini hanya berlaku atas permintaan kementerian/lembaga terkait dan wajib mengikuti aturan administrasi yang berlaku. Instansi tersebut meliputi Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), hingga Kejaksaan Agung (khusus Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).
Salah satu perubahan signifikan adalah perpanjangan batas usia pensiun prajurit, yang bertujuan mempertahankan SDM berpengalaman dan memperkuat struktur organisasi TNI. Namun, revisi ini diwarnai kritik tajam. Sejumlah pihak menilai perluasan kewenangan TNI berisiko mengikis supremasi sipil, membuka peluang penyalahgunaan wewenang, bahkan mengembalikan "dwifungsi" militer ala era Orde Baru. Kekhawatiran juga muncul dari keterlibatan prajurit aktif di lembaga sipil, yang dikhawatirkan mengaburkan batas kewenangan.
Editor : Fabyan Ilat
Artikel Terkait