BOLMONG, iNews.id – Desa Mopuya Selatan, Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara, telah jadi buah bibir atas toleransi warganya. Bagaimana tidak, di desa ini dibangun berdampingan sejumlah rumah ibadah.
BACA JUGA: Siswa SMA Tewas Ditabrak Dinihari di Bolsel, Diduga Ada Unsur Kesengajaan Lantaran Dendam
Mopuya Selatan bahkan telah jadi desa wisata religi di Indonesia, karena Tak hanya wisatawan lokal, namun wisatawan luar negeri pun sangat tertarik untuk berkunjung. Di Mopuya Selatan dibangun berdampingan rumah ibadah dan hanya memiliki batas antar bangunan sekira dua meter. Di sini dibangun Masjid Jami’ Al-Muhajirin, GMIBM (Gereja Masehi Injili Bolaang
Mongondow) anggota PGI Jemaat Immanuel Mopuya, Pura Puseh Umat Hindu, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, dan Gereja Pantekosta. Kunjungan wisatawan terjadi di hari raya besar keagamaan, seperti, seperti Nuzulul Quran, Galungan, dan Paskah. Juga acara keagamaan umat Hindu, yakni upacara Ngembak Geni. Upacara itu setelah hari raya Nyepi, mereka melakukan Sima Karma, saling mengunjungi untuk bermaaf-maafan.
Dilansir dari berbagai sumber, sejarah Mopuya Selatan adalah merupakan daerah transmigrasi. Ada empat gelombang transmigrasi di Desa Mopuya yaitu tahun 1972 dengan jumlah Kepala Keluarga 100, tahun 1973 dengan 300 kepala keluarga, tahun 1974 100 kepala keluarga, dan di tahun 1975 yaitu dengan 100 kepala keluarga. Pada gelombang keempat ini merupakan transmigrasi dari Bali. Berawal ketika bulan September 1972, sekitar 100 Kepala Keluarga dari Bojonegoro dan Banyuwangi di Jawa Timur berangkat menuju Pelabuhan Inobonto, Bolaang Mongondouw dengan kapal laut.
Mereka adalah para transmigran yang akan ditempatkan di Desa Mopuya Selatan, Kecamatan Dumoga Utara.
BACA JUGA: Mees Hilgers jadi Pemain Timnas berdarah Manado ke 4 jika Dinaturalisasi, Ini Ulasan Lengkapnya
Pada tanggal 18 Sepertember 1972, gelombang pertama yang berjumlah 100 KK tiba di desa Mopuya, didalammnya terdapat 34 KK umat Kristen yang berasal dari Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Tolongrejo, desa Tolongrejo kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Dulu Mopuya Selatan masih hutan rimba, namun pemerintah telah menyiapkan rumah sederhana.
Dalam kehidupan setiap hari untuk bertahan hidup, warga transmigran ini menanam jagung dan kedelai. Selain orang Jawa, di Mopuya juga terdapat orang Bali. Warga Bali ini mulai banyak ke luar dari daerahnya setelah meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963.
Awalnya tempat ibadah di Mopuya Selatan adalah satu bangunan yaitu gudang logistik dan digunakan sebagai tempat masyarakat untuk beribadah. Baik itu dari Kristen, Hindu, dan Islam. Pada hari jumat dipakai umat Muslim untuk sholat, dan hari minggu dijadikan tempat ibadah bagi umat Kristen untuk beribadah, begitupun dipakai oleh orang Hindu sebagai tempat ibadah dalam perayaan hari raya besar seperti hari raya Nyepi. Jadi satu bangunan digunakan sebagai tempat ibadah dari tiga agama. Pada tahun 1973, mulailah membangun tempat ibadah.
Masing-masing agama mendapat 2.500 meter persegi. Untuk umat Islam ditambah 2.500 meter persegi lagi untuk membangun madrasah. Jadilah enam rumah ibadah yakni Masjid Al Muhajirin, Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow anggota PGI Jemaat Immanuel Mopuya, Pura Puseh Umat Hindu serta Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, dan Gereja Pantekosta.
BACA JUGA: Kisah Dora Marie Sigar: Pemain Bridge Tangguh di Minahasa, Ibunda Prabowo Subianto
Editor : Fabyan Ilat
Artikel Terkait