JAKARTA, iNews.id – Garuda Indonesia tidak lagi sehat. Kondisi pandemi memperburuk kondisi PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Perseroan terancam pailit karena krisis keuangan. Garuda Indonesia mencatatkan kerugian pada Semester I-2021 sebesar USD904,9 juta atau setara Rp13,1 triliun (kurs Rp 14.400 per USD). Kondisi ini jelas sangat merugikan negara dan mengancam nasib seluruh pekerja Garuda Indonesia yang selama ini sangat bangga bekerja di sana.
Berikut fakta-fakta yang Okezone terkait ancaman pada manajemen lama Garuda Indonesia.
1. DPR Minta Pengusutan Manajemen Lama Komisi VI DPR meminta penegak hukum melakukan pengusutan dugaan mark up atas leasing pesawat Garuda Indonesia yang menyebabkan kerugian perseroan saat ini.
Pengusutan, menurut Anggota Komisi VI Evita Nursanty harus dilakukan terhadap semua mantan direksi Garuda Indonesia yang harusnya bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
“Hukum harus ditegakkan bagi para ‘penjahat kerah putih’ yang telah melakukan mark-up atas leasing pesawat sehingga menyebabkan kerugian Garuda. Ini harus dibongkar, sehingga ketahuan siapa yang menikmati adanya mark up itu,” kata Evita Nursanty.
Dalam hal terbukti ada mark up antara pejabat Garuda Indonesia dengan lessor, menurut Evita, maka lessor yang terbukti melakukan mark up berarti melanggar business ethic and law sehingga Garuda Indonesia pantas untuk melakukan renegosiasi ulang, dan kalau perlu dengan ancaman untuk mensuspen seluruh kewajiban Garuda terhadap lessor yang terbukti melakukan mark up.
2. Praktik Mark up
Anggota Komisi VI Evita Nursanty selalu mengingat kesejarahan Garuda Indonesia sebagai flag carrier, dan membela kepentingan karyawan maskapai penerbangan ini, karena itu terus mencari solusi bagi penyehatan Garuda.
“Kita tegaskan membela karyawan, dan menindak para eksekutif Garuda yang telah menyalahgunakan kewenangan dengan melakukan kongkalikong dengan lessor tertentu,” ucapnya.
Evita mengingatkan kasus dugaan adanya mark up yang melibatkan dirut Garuda dan pihak rekanan asing ditangani KPK dalam kasus pengadaan pesawat Airbus dan mesin pesawat Rolls-Royce di PT Garuda Indonesia (Persero) periode 2004-2015, menunjukkan ada pihak-pihak tertentu yang berorientasi pada keuntungan pribadi.
Menurut KPK kala itu, lantaran harganya tidak dapat ditawar lagi, pihak tersebut justru meminta agar harganya ditinggikan atau mark-up. Selisih harga tersebut masuk ke kantong pribadi. Sebagai perusahaan milik negara, menurut KPK, Garuda seharusnya mencari harga termurah dari suatu produk. Namun, lantaran terdapat pihak yang ingin mendapat keuntungan, perusahaan justru membeli barang dengan harga yang sengaja dimahalkan.
“Jadi kasus-kasus yang sama sangat mungkin terjadi di Garuda, sehingga ini saatnya harus dibuka semua, dan para direksi yang tersangkut nantinya harus diminta pertanggung jawaban. Bukan hanya direksi tapi juga para lessor yang terlibat,” ucap Evita.
3. Manajemen Garuda Ugal-ugalan
Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga menyebutkan tentang sikap 'ugal-ugalan' terkait biaya sewa (leasing) pesawat yang digelontorkan manajemen Garuda sebelumnya.
Padahal, leasing Garuda Indonesia mencapai 27% atau paling tinggi di dunia. Kekeliruan tata kelola pun menyebabkan keuangan emiten dengan kode saham GIAA ini mengalami kontraksi mendalam di saat dunia dihadapkan pada krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
"Kita tahu kondisi Garuda saat ini karena memang dulu itu kan ugal-ugalan gitu, penyewa-penyewa pesawat yang dilakukan oleh pihak Garuda. Ugal-ugalan inilah yang membuat kondisi Garuda dan diperparah dengan kondisi corona saat ini. Corona ini puncaknya saja, mereka punya pondasi yang sangat jelek," ujar Arya.
4. Upaya Penyelamatan Garuda oleh Pemerintah
Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga berbagai langkah penyelamatan tetap ditempuh Kementerian BUMN agar bisnis emiten penerbangan pelat merah tetap efisien dan membaik.
Misalnya, melakukan negosiasi dengan kreditur dan perusahaan penyewa pesawat (lessor) global melalui skema restrukturisasi utang.
"Jadi, semua pihak harus bersama-sama ini, jadi jangan, minta pemerintah seperti ini, jangan seperti itu, kita harus lihat dengan ril dan lebih rasional dengan kondisi Garuda saat ini, tidak sekadar sentimen dan sebagainya, kita harus menyelamatkan dengan cara negosiasi," ungkap Arya.
Di lain sisi, Kementerian BUMN pun memutuskan mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ-1000 dan mengakhiri kontrak dengan Nordic Aviation Capital atau NAC yang jatuh tempo pada 2027 mendatang.
Selain itu, Garuda juga mengajukan proposal penghentian dini kontrak sewa enam pesawat Bombardier CRJ1000 lainnya kepada Export Development Canada (EDC).
Dimana, Garuda tengah melakukan negosiasi early payment settlement contract financial lease enam pesawat tersebut.
Editor : Fabyan Ilat
Artikel Terkait