KEBERADAAN pasien hemodialisa atau cuci darah ginjal sangat rentan mengalami anemia. Jika tak waspada, bahaya kematian akan mengintai, apalagi bagi mereka yang punya komorbid hipertensi hingga penyakit kardiovaskular.
Prof dr Rully MA Roesli, PhD, SpPD-KGH mengatakan, anemia pada pasien gagal ginjal harus diobati. Karena kematian pada pasien hemodialisa di Indonesia hampir sebagian besar disebabkan penyakit kardiovaskular (42%).
"Apabila pasien hemodialisa terkena penyakit kardiovaskuler maka ginjal menjadi lemah, jantung menjadi lemah. Oleh sebab itu, anemianya harus diobati dengan memberikan terapi epo dengan indikasi Hb lebih dari 10 g/dL dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi seperti tidak ada infeksi yang berat," katanya dalam keterangan resmi Etana.
Prof Rully menegaskan, penyutikan epo (eritropetin) harus dilakukan secara rutin. Tapi masalahnya, kata dia, di Indonesia pemberian epo ini belum tercakup dalam pembiayaan hemodialisa.
Sehingga pemberian transfusi darah masih cukup banyak dilakukan. Padahal dapat dikatakan transfusi darah memiliki banyak risiko apabila dilakukan kepada pasien cuci darah.
Namun sebenarnya, transfusi darah juga sebenarnya hanya diberikan kepada pasien cuci darah dengan anemia. Yakni kondisi Hb yang sangat rendah dan memperburuk kondisinya dengan gejala lemas dan kualitas hidup pasien tak sama dengan orang sehat.
"Transfusi darah bisa diberikan pada saat pasien Hb 7 dan bisa diberi saat pasien melakukan cuci darah," kata Prof Rully.
Sedangkan terapi epo lebih aman untuk diberikan karena dapat menghasilkan peningkatan Hb yang berkesinambungan, menghasilkan sel darah merah yang berfungsi secara normal dan dapat meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara target Hb yang lebih tinggi.
Editor : Fabyan Ilat
Artikel Terkait