MANADO, iNews.id - Penggunaan marga atau fam di Sulawesi Utara lazim saat ini.
Penggunaan marga atau fam berlaku bagi pria dan wanita dengan mengambil marga ayah.
Penggunaan marga atau fam di Sulawesi Utara sebagai penegasan identitas keberadaan seseorang.
Namun tahukah anda, sejarah penggunaan marga atau fam di Minahasa?
Dikutip malesung.wordpress marga atau fam
menunjukkan pengaruh dari bahasa Belanda, familienaam yang berarti “nama keluarga”. Orang Minahasa mulai menggunakan Fam (Marga/ Nama Besar Keluarga) di mulai saat bangsa Eropa mulai tinggal dan terjadi perkawinan campur dengan penduduk Minahasa. Terutama saat kedatangan Spanyol Portugis dan Belanda. Nama keluarga atau marga yang dipakai di belakang nama depan masyarakat Minahasa/Manado.
Marga Minahasa diambil dari nama keluarga yang digunakan oleh kepala rumah tangga (orang tua lelaki), dengan demikian umumnya nama anak dari sebuah keluarga akan ditambahkan nama keluarga sang ayah di belakangnya. Bila seorang perempuan menikah, nama keluarga sang suaminya disisipkan di antara nama depan dan nama keluarga asli perempuan tersebut. Praktik ini menunjukkan pengaruh budaya Spanyol dan Portugis yang masih tersisa di Minahasa.
Keluarga itu akan menggunakan kedua marga tersebut sebagai nama resminya. Jadi, misalnya seorang laki-laki yang bermarga “Assa” menikah dengan seorang perempuan yang bermarga “Damongilala”, maka keluarga itu disebut “Keluarga Assa-Damongilala”, meskipun anak-anak mereka kelak hanya akan menggunakan nama “Assa” saja sebagai marga mereka.
Di Indonesia, marga adalah sebuah identitas pada seseorang yang menandakan bahwa seseorang itu punya marga. Marga biasanya diletakkan dibelakang nama seseorang. Bangsa yang memiliki marga di dunia antara lain Israel, Arab, di Eropah seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancus, China bangsa-bangsa ini yang mempengaruhi suku-suku bangsa di Indonesia untuk menggunakan Nam Marga contoh suku yang menggunakan antara lain Batak, Karo Nias, Minangkabau, Minahasa, Sangihe, Talaud, Siau, Bolaang Mongondow, Toraja, Maluku, Bali, Madura, Sunda, Jawa khusus pejabat masa kini, keturunan Tionghoa, Papua Biak, Rote, NTT, Keturunan Arab, Pakpak dan lain sebagainya.
W Mamahit dalam tulisannya berjudul “Sejarah Nama Keluarga” menjelaskan, silsilah dalam masyarakat Minahasa sudah dikenal dari jaman dahulu kala, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.
Para Walian [Pimpinan agama adat suku] selain ahli membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan, matahari dan mengamati bintang-bintang tertentu untuk menentukan musim menanam mereka juga dapat menghafal silsilah sampai puluhan generasi dan menghafal cerita-cerita dari leluhur-leluhur yang ada.
Sesuai adat istiadat dari zaman Malesung, silsilah ini akan dituturkan pada saat ada perkabungan, para Tua-tua adat atau Paendon Tua [Tua-tua dalam keluarga] akan menuturkan silsilah dari orang yang meninggal sebelum dimakamkan.
Masyarakat Minahasa tidak mengenal / memakai “Nama Keluarga” atau “Fam”, setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa barulah mereka mengenal hal ini.
“Nama Keluarga” atau “Fam” [Bhs. Belanda : Familie naam] dalam masyarakat Minahasa kini, tidak terlepas dengan silsilah-silsilah dan nama-nama yang ada dari zaman dahulu.
Memasuki pertengahan abad delapan belas kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini sudah mulai terjadi di seluruh Walak Minahasa walaupun juga belum menjadi kebiasaan umum [ cat : sekitar tahun 1770 sudah ada 24 Walak di Minahasa dengan adanya Walak Negeri Baru / Titiwungen ].
Ditahun 1851 barulah kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini menjadi kebiasaan umum bahkan diharuskan dan menjadi “Nama Keluarga” akibat diberlakukannya pajak [Belasting] oleh Residen saat itu [ Residen Scherius ] yang diatasnamakan kepala keluarga dan lelaki dewasa.
[ Penerapan kode sipil ].
Ini pertama kali pajak diberlakukan di Minahasa yang dinamakan “Pajak Hasil” dari sinilah masyarakat Minahasa secara resmi memakai “Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” dan dilindungi oleh Undang-undang adat sipil [ Wetboek Van Civile Zaken tahun 1915 ].
“Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” bersifat tetap / permanen, tidak dengan mudah diganti dan tidak dengan sembarangan dipakai karena menyangkut hubungan darah atau hubungan keluarga dengan nama turunan tersebut.
Editor : Fabyan Ilat
Artikel Terkait