Tahukah Anda Tentang Istilah Covid-somnia? Berikut Penjelasannya

ANTARA
Covid-somnia (Foto: Working mother)

COVID-somnia jadi sebutan tenar dimasa pandemi Covid-19. Istilah ini muncul pascastudi observasional terhadap lebih dari 230.000 rekam medis pasien yang dimuat dalam jurnal The Lancet Psychiatry (April 2021) menjelaskan, satu dari tiga orang penyintas Covid-19 akan mengalami gangguan saraf atau gangguan psikiatri dalam kurun waktu enam bulan setelah terinfeksi virus corona.

Gangguan psikiatri yang paling umum ditemukan menurut studi tersebut adalah insomnia dan gangguan kecemasan. Sebanyak 13 persen dari pasien Covid-19 terdiagnosis mengalami keluhan ini.

Diagnosis tersebut menjadi diagnosis pertama kali, artinya mereka tidak pernah memiliki riwayat gangguan tersebut sebelumnya.

Istilah “Covid-somnia” atau “Corona-somnia” mulai dikenal sekitar musim panas 2020 untuk menggambarkan dampak pandemi global terhadap pola tidur seseorang.

Data yang diperoleh dari hampir seluruh belahan dunia memperlihatkan adanya jumlah besar populasi yang mengalami kesulitan tidur.

Pada 2020, British Sleep Society melaporkan bahwa kurang dari separuh penduduk Inggris mendapatkan "tidur yang menyegarkan".

Sementara di Amerika Serikat, masalah kurang tidur sudah dianggap sebagai epidemi oleh CDC (Centers for Disease Control).

Sejak berlangsungnya pandemi, kasus insomnia semakin meningkat hingga mencapai empat puluh persen.

Gangguan tidur selama pandemi Covid-19 ini disebut sebagai “tandemic” (epidemi yang disebabkan, diperburuk oleh pandemi, dan berjalan beriringan dengan pandemi). Hal ini diungkapkan oleh Dr. Abinav Singh, seorang direktur medis The Indiana Sleep Center.

Pandemi telah mengubah hampir semua aspek kehidupan sehari-hari. Anak-anak dan orang tua menyesuaikan diri dengan sekolah jarak jauh.

Jutaan pekerja beralih pada pekerjaan jarak jauh, dirumahkan, atau kehilangan pekerjaan sama sekali.

Banyak orang yang mengalami penyakit dan kehilangan anggota keluarganya karena Covid-19. Belum lagi adanya ketidakpastian sosial ekonomi yang berkesinambungan.

Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila seseorang mengalami kesulitan tidur, dengan begitu banyak beban dan kecemasan yang datang secara simultan.

 

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dr. Leonardi A. Goenawan, Sp.KJ mengemukakan, tiga hal yang dianggap jadi penyebab gangguan tidur.

1. Stres yang meningkat.

Stres emosional akibat pandemi dapat mengubah arsitektur tidur, memperpendek durasi gelombang lambat yang bersifat restoratif, meningkatkan REM (rapid eye movement), dan cenderung membuat seseorang lebih sering terbangun di malam hari.

Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa kondisi ini dapat tetap terjadi selama dua tahun setelah seseorang mengalami tekanan emosional yang berat seperti pada pandemi ini.

Stres juga akan meningkatkan kadar kortisol, suatu hormon yang bekerja berlawanan dengan melatonin, hormon yang bertanggung jawab untuk kualitas tidur. Selama hormon kortisol kita tetap dalam konsentrasi yang tinggi, maka produksi melatonin akan terganggu, sehingga kualitas tidur juga akan terganggu.

 

2. Hilangnya rutinitas harian.

Protokol untuk “menjaga jarak”, mengubah banyak aspek dalam menjalankan kesenangan pribadi hingga kehidupan sosial.

Hilangnya berbagai aktivitas ini akan menimbulkan perasaan terisolasi dan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.

Ketiadaan aktivitas rutin tersebut cenderung membuat tidur lebih larut dan bangun lebih siang. Di samping kualitas tidur menjadi buruk, gangguan pada irama sirkadian tersebut juga akan berdampak pada fungsi biologis lainnya, termasuk pencernaan, respons imunitas, dan lainnya.

 

3. Meningkatkan konsumsi informasi

Terlalu banyak mengonsumsi informasi akan secara bermakna meningkatkan tekanan mental dalam bentuk kecemasan dan ketakutan. Belum lagi berhadapan dengan disinformasi dan hoaks.

Durasi kita berada di depan monitor (screen time), dikaitkan dengan menurunnya kualitas tidur, terutama apabila dilakukan pada malam hari.

Sinar biru dari monitor akan merangsang tubuh kita untuk mempertahankan kadar kortisol tetap tinggi dan menekan produksi melatonin. Itulah sekilas dampak pandemi Covid-19 terhadap kesehatan mental, terutama pengaruhnya pada kualitas tidur.

 

Bagaimanapun, semua orang perlu untuk menyadari pentingnya menyikapi kondisi pandemi ini dengan tetap berusaha rileks dan mendapatkan hiburan atau aktivitas yang menyenangkan agar terhindari dari gangguan mental.

 

Editor : Fabyan Ilat

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network