SITARO, iNews.id - Dikisahkan cerita bermula pada abad ke-13, kala itu hiduplah sepasang suami-istri bernama Makisemba dan Minaesa. Mereka dahulu mendiami suatu tempat yang saat ini dikenal dengan nama Desa Tonsawang Kecamatan Tombatu Kabupaten Minahasa Tenggara.
Konon Minaesa merupakan putri dari legenda Minahasa Toar-Lumimuut.
Tak lama kemudian, Makisemba dan Minaesa memutuskan berkelana ke utara Pulau Celebes (Sulawesi).
Mereka berlayar dan tiba di sebuah pulau yang kala itu belum ada namanya (Pulau Siau). Keduanya pertama kali menapakan kaki di suatu tempat bagian selatan pulau tersebut.
Tempat itu kemudian diberi nama Sawang karena mengenang asal mereka dari Tonsawang.
Dari sinilah kemudian berkembang muncul sebutan Batu Siau dan Ake Sio di Desa Beong Kecamatan Siau Tengah Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro). Bahkan, menjadi cikal bakal penamaan Pulau Siau.
Kapitalau (Kepala Desa) Beong Hervie Mandak, menuturkan, cerita sejarah Batu Siau dan Ake Sio sudah banyak warga yang mengetahui. Karena warga masih menjaga cerita tersebut turun temurun sampai saat ini.
Hervie menuturkan, timbul rasa ingin mengenal lebih jauh pulau yang baru mereka tempati, Makisemba dan Minaesa berjalan kaki memasuki ke arah pedalaman.
Di pertengahan pulau, mereka menjumpai dua batu besar yang letaknya berdekatan. "Keunikan batu tersebut membuat mereka tertarik. Sehingga Makisemba dan Minaesa sepakat hidup dan bermukim di samping batu tersebut," ungkap Hervie, Rabu (29/12/2021).
Kemudian, menurut kapitalau, oleh Makisemba kedua batu besar itu dinamai Batu Sio yang artinya batu sembilan.
Kapitalau Desa Beong Hervie Mandak. (foto: dok pribadi)
Pasalnya, setiap anaknya lahir, yang dalam bahasa daerah disebut kakadumang (plasenta), selalu ditanam di bawah batu-batu tersebut.
Hervie menyebutkan, Makisemba dan Minaesa dikaruniai sembilan orang anak yakni Uta Labo, Uta Haghi, Lekungbulaeng, Naoleh, Linangkulaeng, Wulaeng, Bawingkahe, Neli, dan Rasageng.
"Dari sinilah bermula penamaan Batu Sio yang seterusnya menjadi Batu Siau," bebernya.
Bukan hanya itu, lanjut Hervie, setiap anaknya lahir Makisemba juga menggali tanah membuat kolam untuk memandikan anaknya. "Dari sembilan anak, sembilan pula kolam yang dibuat Makisemba.
Letak sembilan kolam ini berjarak sekira 500 meter dari Batu Sio. Kemudian sembilan kolam mata air tersebut dinamai Ake Sio (Sembilan Mata Air)," jelasnya lagi.
Hervie meyakini, pada bulan November 1420, penjelajah asal Spanyol bernama Magelhaens mendatangi pulau yang sama.
Dia menamai pulau tersebut berdasarkan sebutan Batu Sio. "Mula-mula oleh Magelhaens penyebutannya Siow. Karena pengaruh lafal berubah menjadi Siau. Ini juga mempengaruhi nama Batu Sio menjadi Batu Siau," beber dia.
Lebih jauh lagi, kapitalau ketujuh Beong ini menambahkan, berdasarkan kisah tersebut Batu Siau dan Ake Sio dijadikan objek wisata sejarah di Desa Beong.
Diakuinya, di masa pandemi Covid-19, kedua objek wisata tersebut agak kurang terurus. "Tahun depan kita akan mengoptimalkan kedua objek wisata tersebut. Banyak yang datang selalu menelisik asal-muasal penamaan Batu Siau dan Ake Sio," pungkas Hervie.
Perlu diketahui, dari kisah Ake Sio inilah selanjutnya muncul cerita yang lebih melegenda yaitu kisah Sense Madunde dan 9 Bidadari. Sense Madunde merupakan leluhur Raja Lokong Banua yang adalah raja pertama Kerajaan Siau yang masa pemerintannya 1510-1549.
Editor : Norman Octavianus
Artikel Terkait