Soeharto dan Cerita Kejayaan BBM di Indonesia, Dulu Eksportir Kini Importir

I. Husni Isnaini
Soeharto dan Cerita Kejayaan BBM di Indonesia, Dulu Eksportir Kini Importir. Foto/Istimewa

JAKARTA, iNewsManado.com - Tidak terkontrolnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia beberapa dekade di Indonesia, tentu jadi persoalan tersendiri. 

Dampak kenaikan harga BBM berefek besar pada kelangsungan hidup masyarakat. Kenaikan harga BBM secara otomatis membuat harga kebutuhan pokok meningkat dan sejumlah kebutuhan lainnya. 

Tidak banyak yang tahu, Indonesia ternyata pernah memiliki era kejayaan dan pengelolaan BBM. 

Pada pemerintahan orde Baru di tangan Presiden Soeharto, Indonesia pernah terkenal sebagai produsen dan eksportir utama minyak di dunia. Data BP World Statistic pada 2012 mencatat produksi minyak bumi Indonesia pernah mencapai 1,65 juta barrel per hari pada 1977. 

Tentunya fakta ini menjadi tanda tanya, kenapa dizaman Presiden Soeharto Indonesia bisa menjadi penguasa minyak dunia. Bukan sebagai pembanding saat ini, namun pemerintah harus menjadikan fakta masa Presiden Soeharto sebagai referensi dalam mengambil kebijakan. 

Pun, dimasa Presiden Soeharto produksi minyak Indonesia juga surplus, makanya pada tahun 1962 Indonesia resmi bergabung dengan OPEC, negara-negara eksportir minyak. 

Indonesia juga pernah mencatatkan diri sebagai 11 negara produsen minyak terbesar di dunia dan triliunan rupiah mengalir ke kantong republik ini. 

Hasil riset Reforminer Institute pernah mengungkap, pada periode 1970-1990 sektor migas memberikan sumbangan 62,88% terhadap penerimaan negara. 

Nilai ekspor migas Indonesia pun tercatat USD20,66 miliar. Kini kondisi berputar seolah 720 derajat, Indonesia harus mengimpor minyak bumi untuk menyokong kebutuhan BBM-nya. 

Tahun lalu, realisasi produksi minyak Indonesia rata-rata hanya mencapai 660.000 barrel per hari (bopd) atau baru mencapai 93,6% dari target APBN yang sebesar 705.000 bopd. Sementara, kebutuhannya lebih dari 1 juta barel per hari. 

Tercatat, sejak tahun 2004 Indonesia telah menyandang status sebagai net importer minyak. Malu tak lagi jadi eksportir minyak, Indonesia akhirnya hengkang dari keanggotan OPEC pada 2008. 

Anehnya, dengan alasan untuk memantau naik-turunnya harga dan kondisi stok di setiap negara anggota OPEC, Indonesia balik lagi menjadi anggota OPEC pada 2016. Belakangan, Indonesia kembali cabut dari OPEC dengan alasan yang bertebaran, mulai dari keberatan membayar iuran tahun sebesar USD2 juta. 

Hingga "tekanan" Indonesia harus memangkas produksinya. Ada banyak penyebab turunnya produksi minyak Indonesia, mulai dari perizinan, investasi migas yang tak menarik lagi, hinggga tak ditemukannya sumber-sumber minyak baru. Makanya, banyak perusahaan migas asing hengkang dari bumi pertiwi, seperti Royal Dutch, Chevron, hingga Sell. Padahal SKK Migas menyatakan bahwa prospek hulu migas Indonesia masih menarik.

 Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto membeberkan bahwa Indonesia saat ini memiliki 128 cekungan migas. Menurutnya, cekungan itu tentu bisa menambah cadangan migas apabila terus dikembangkan. 

Dwi mengatakan, rincian dari 128 cekungan itu di antaranya, yakni 20 cekungan sudah berproduksi, 27 lainnya telah ditemukan namun belum berproduksi, dan 13 belum ditemukan serta 68 cekungan lainnya belum dilakukan pengeboran. 

 Jika Indonesia, tak segera berbenah, maka impor minyak akan semakian membesar dan persoalan harga BBM kian pelik.

 

Editor : Fabyan Ilat

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network