DOKTOR Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (5 November 1890 – 30 Juni 1949), atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi, adalah seorang politikus, jurnalis, dan guru dari Sulawesi Utara, Indonesia. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. pahlawan Sulawesi Utara ini juga sering disebut sebagai tokoh multidimensional.
Sam Ratulangi. (Istimewa)
Ia dikenal dengan filsafatnya: "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Pahlawan Sulawesi Utara termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menghasilkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan merupakan Gubernur Sulawesi pertama.
Sam Ratulangi lahir pada tanggal 5 November 1890 di Tondano, Minahasa yang pada saat itu merupakan bagian dari Hindia Belanda. Ia adalah putra dari Jozias Ratulangi dan Augustina Gerungan.
Pahlawan Sulawesi Utara mengawali pendidikannya di sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School), lalu ia melanjutkannya di Hoofden School, keduanya di Tondano.
Pada tahun 1904, Pahlawan Sulawesi Utara ini berangkat ke Jawa untuk masuk Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) setelah menerima beasiswa dari sekolah tersebut. Namun sesampainya di Batavia (sekarang Jakarta), ia berubah pikiran dan memutuskan untuk belajar di sekolah menengah teknik Koningin Wilhelmina.
Ratulangi lulus pada tahun 1908 dan mulai bekerja pada konstruksi rel kereta api di daerah Priangan selatan di Jawa Barat. Di sana ia mengalami perlakuan yang tidak adil dalam hal upah dan penginapan karyawan dibandingkan dengan karyawan Indo (Eurasia).
Dia tiba di Amsterdam pada tahun 1912 dan melanjutkan studinya yang dimulainya di Jawa, tetapi tidak selesai karena sakit ibunya. Pada tahun 1913, ia menerima sertifikat untuk mengajar matematika untuk tingkat sekolah menengah (Middelbare Acte Wiskunde en Paedagogiek).
Pahlawan Sulawesi Utara melanjutkan studinya di universitas di Amsterdam selama dua tahun lagi. Namun, ia tidak dapat menyelesaikan studinya, karena ia tidak diperbolehkan mengikuti ujian. Aturan dari universitas mengharuskan ia memiliki sertifikat tingkat SMA. Sertifikat tersebut tidak dimiliki Ratulangi, karena ia tidak pernah menyelesaikan studinya di Hogere Burgerschool (HBS) atau Algemene Middelbare School (AMS).Atas saran Mr. Abendanon, seorang Belanda yang bersimpati kepada orang-orang dari Indonesia (yang disebut Hindia pada waktu itu), Pahlawan Sulawesi Utara ini mendaftarkan diri dan diterima di Universitas Zurich di Swiss. Pada tahun 1919, ia memperoleh gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr. Phil.) untuk Ilmu Pasti dan Ilmu Alam dari universitas tersebut.
Selama berada di Amsterdam, Pahlawan Sulawesi Utara ini sering bertemu dengan Sosro Kartono (saudara RA Kartini) dan tiga pendiri National Indische Partij, Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat. Ratulangi juga aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging).
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1919, Ratulangi pindah ke Yogyakarta untuk mengajar matematika dan sains di sekolah teknik Prinses Juliana School.
Pada tahun 1923, Pahlawan Sulawesi Utara ini dicalonkan oleh partai Perserikatan Minahasa untuk menjadi sekretaris badan perwakilan daerah Minahasa di Manado (Minahasa Raad). Dia memegang posisi ini dari tahun 1924 hingga 1927.
Selama di Minahasa Raad, Pahlawan Sulawesi Utara ini memperjuangkan hak-hak yang lebih banyak untuk orang-orang Minahasa. Dia secara luas dikreditkan dengan membuat pemerintah kolonial menghapuskan kerja paksa (Herendiensten) di Minahasa.
Dia juga berperan dalam pembukaan daerah Modoinding dan Kanarom di Minahasa Selatan untuk transmigrasi dan pembentukan yayasan untuk membiayai pendidikan siswa-siswa yang membutuhkan.
Pada tanggal 16 Agustus 1927, Ratulangi dan R. Tumbelaka memulai partai Persatuan Minahasa. Pada waktu itu, keanggotaan Perserikatan Minahasa termasuk orang-orang sipil dan militer. Beberapa anggota militer memberontak melawan Belanda dan karena tindakan mereka, mereka dilarang untuk berpartisipasi dalam organisasi politik. Ratulangi dan Tumbelaka memutuskan untuk membentuk partai baru, Persatuan Minahasa, yang hanya memiliki anggota sipil.
Ratulangi diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1927 untuk mewakili rakyat di Minahasa. Ia terus mengusik hak-hak rakyat dan mendukung nasionalisme Indonesia dengan menjadi anggota Fraksi Kebangsaan yang dimulai oleh Mohammad Husni Thamrin.
Dia adalah salah satu sponsor dari Petisi Soetardjo yang menyatakan keinginan untuk sebuah negara merdeka melalui reformasi bertahap dalam waktu sepuluh tahun.
Petisi ini melewati Volksraad, tetapi tidak diterima oleh pemerintah kolonial. Tanggapan terhadap petisi inilah yang memprakarsai pembentukan GAPI (yang telah dijelaskan sebelumnya). Ratulangi tidak ragu untuk mengkritik pemerintah kolonial dan akhirnya dianggap sebagai risiko bagi mereka. Dia terus melayani di Volksraad sampai 1937, ketika dia ditangkap karena pandangan politiknya. Dia dipenjarakan selama beberapa bulan di Sukamiskin di Bandung.
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, pada 20 Maret 1942, pihak Jepang melarang segala jenis kegiatan politik di Indonesia. Karena semua organisasi politik dibubarkan, Ratulangi berpartisipasi dalam upaya bantuan keluarga tentara kolonial Belanda (KNIL). Pada tahun 1943, Ratulangi ditugaskan sebagai penasihat untuk pemerintah militer pendudukan. Pada tahun 1944, ia dipindahkan ke Sulawesi Selatan untuk menjadi penasihat pemerintah militer di Makassar, yang termasuk wilayah timur yang dikendalikan oleh Angkatan Laut Jepang. Pada bulan Juni 1945, Ratulangi mendirikan sebuah organisasi bernama Sumber Darah Rakyat (SUDARA). Ia menggunakan organisasi ini untuk membangkitkan sentimen nasionalis di Sulawesi dalam mengantisipasi kemungkinan kemerdekaan dalam waktu dekat.
Pada awal Agustus 1945, Ratulangi diangkat sebagai salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mewakili Sulawesi. Pada saat Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, Ratulangi hadir dalam upacara tersebut karena Ratulangi baru saja tiba di Batavia bersama para anggota PPKI lainnya dari wilayah timur untuk mengikuti rapat PPKI. Rapat PPKI yang diadakan pada hari berikutnya menghasilkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan pengangkatan secara aklamasi Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Rapat-rapat itu juga membagi Indonesia ke dalam wilayah-wilayah administratif di mana Ratulangi diangkat menjadi Gubernur Sulawesi.
Setelah kembali ke Makassar dan secara resmi mengumumkan proklamasi kemerdekaan, Ratulangi dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Jepang pada awalnya belum siap menyerahkan senjata mereka. Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Australia Ivan Dougherty tiba pada bulan September 1945. Dougherty ditunjuk sebagai Gubernur Militer oleh pimpinan Sekutu. Kedatangannya mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah sipil Hindia Belanda (NICA) dan KNIL yang siap untuk mengambil alih daerah Hindia Belanda seperti sebelum perang. Dengan masuknya semua orang-orang asing tersebut, pemuda daerah di Sulawesi bersiap untuk berjuang dengan segala cara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bersamaan dengan ini, Ratulangi menerima dukungan dari raja-raja adat termasuk dari Kesultanan Bone dan Kedatuan Luwu yang menyatakan dukungan kepada Republik yang baru didirikan.
Pada bulan Agustus 1961, Ratulangi secara anumerta dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh Soekarno. Ia juga menerima secara anumerta Bintang Gerilya pada tahun 1958, Bintang Mahaputra Adipradana pada tahun 1960, dan Bintang Satyalancana pada tahun 1961.
Editor : Fabyan Ilat
Artikel Terkait