Theresia Mangalo. (Foto: Dokumen Pribadi)
OLEH: Theresia Mangalo
NIM: 21304056
Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi
Dosen: Dr. Cecilia L. Kewo, SE, AK, M.Si
Apakah dinding bisa berbicara seperti animasi film Disney? Jika ada yang menjawab ya, itu artinya kalian butuh piknik.
Tetapi ada saja orang-orang yang ingin merealisasikan hal tersebut, bukan dengan mengajak bicara tembok dingin seperti halnya Ungke yang dihukum ibu guru karena suka berceloteh saat pelajara, namun lebih tepatnya dengan memanfaatkan karya seni. Pada awalnya berbicara merupakan cara manusia untuk berkomunikasi dalam menyampaikan informasi, isi pikiran serta pendapat menggunakan suara.
Namun semakin bertambahnya jaman, manusia mulai mendapatkan cara alternatif untuk berbicara tanpa menghilangkan fungsi penyampaiannya tersebut.
Yaitu berbicara dengan bahasa tubuh atau nonverbal, secara tertulis maupun visual. Dasarnya berbicara itu hal yang mudah tetapi sukar untuk dilakukan kebanyakan orang, contohnya berbicara didepan publik adalah suatu kegiatan yang agak jarang peminatnya karena sebagian orang lebih memilih menjadi pihak pasif yang hanya mendengarkan saja.
BACA JUGA: AK Oknum Anggota DPRD Sulut yang Dipolisikan, Fraksi PDI-Perjuangan Serahkan ke Proses Hukum
Kenapa?
Karena semenjak kita dibangku sekolah dasar sudah diminta untuk mendengarkan guru sambil duduk manis, maka dari itu kita tumbuh dengan cara yang kurang produktif.
Tapi bisakah anak umur 7 tahun berbicara di khalayak ramai? tentu saja tidak. Sebelum berbicara kita harus berpikir mencari ide, menentukan lisan, lalu menyampaikannya secara lantang dan berani, apakah anak sekecil itu sudah bisa melakukan hal tersebut? bisa saja, namun dengan bantuan bisikan ibunya tentu saja.
Maka disinilah kita membuat alternatif berkomunikasi selain berbicara dengan suara, yaitu berbicara lewat coretan. Coretan merupakan bentuk dari visualisasi bahasa menggunakan ilustrasi gambar, sketsa, lambang, tipografi, grafis dan warna dalam penyampaian informasi atau pesan pada pihak lain.
Contoh termudah yang bisa kita dapatkan yaitu pintu besi ruko tua, dinding gang perkampungan, ada juga dinding pembatas dalam kota, yang semarak dihiasi lukisan yang memiliki pesan didalamnya. Namun kenapa jarang terekspos? sebab terdapat adanya pro dan kontra diantara masyarakat dan pemerintah setempat.
Terkadang seni visual seperti itu dianggap sebagai perusakan atau gangguan bagi beberapa pihak, tetapi tidak sedikit juga yang menganggap bila seni coretan tersebut membuat kota tampak lebih manusiawi disandingkan dengan para pabrik atau gedung-gedung menjulang tinggi.
Sebagai seseorang yang pasif, saya adalah mahasiswa yang juga dituntut untuk berlaku kritis dalam berpikir maupun berbicara, maka dari itu pilihan seperti memanfaatkan karya seni dalam bentuk coretan ilustrasi yang dapat menyampaikan aspirasi, maka saya tidak perlu susah-susah berkoar ditengah jalan atau didepan gedung pemerintahan.
Menggunakan media toko tua atau dinding usang akan sangat membantu mengembalikan citra bagus dan menarik perhatian orang banyak dengan sebuah gambar tertentu.
Contohnya, digelar lomba Mural Kota Bitung dalam rangka memeriahkan Hari Perhubungan Nasional, pada senin 14 september 2020 kemarin adalah lomba yang dilaksanakan di Terminal Tangkoko Bitung.
Hal tersebut banyak mendatangkan partisipan para seniman lokal dikota Bitung maupun luar daerah dengan beradu bakat dan karyanya yang dapat memperindah Terminal Tangkoko, serta dapat menyampaikan pesan dalam gambar dengan tema ‘Dengan menggunakan transportasi umum kita wujudkan asa, majukan Indonesia’.
Namun dilain sisi, terdapat kasus penghapusan mural yang memuat suara rakyat kepada penguasa negeri tak tersampaikan.
Sebuah gambar tokoh petinggi dan sepenggal kritikan mengundang banyak perhatian dan tanggapan, sehingga dilakukan pembungkaman oleh yang bersangkutan.
Bukan masalah cat harga puluhan ribu atau dinding kotor yang menjadi objek lukisan, hanya karena muatan tersebut dinilai kurang pantas untuk komsumsi publik.
Jika berbicara lewat coretan dianggap kriminal lalu bagaimana lagi masyarakat bisa memukakan pendapatnya? apakah seminim itu hak demokrasi jaman sekarang?
Aspirasi kecil yang menjadi masalah besar, bagaimanapun pesan kreatif tersebut sangat disayangkan karena tidak diterima oleh beberapa oknum, bagai lelaki yang menyatakan rasa cinta kepada seorang gadis dan berakhir ditolak mentah-mentah, sakitnya tuh disini!
BACA JUGA: Facebook Jadi Meta
Walau pasca penolakan tak ada yang tidak bisa dilakukan, dengan terus berkarya dan menyuarakan isi hati dan pikiran secara positif nantinya kita dinilai baik dan diterima, walaupun bukan dengan orang yang sama.
Anak kecil, remaja, orang dewasa, sampai lansia memiliki hak berbicara yang sama maka marilah pandai-pandai menggunakan hak tersebut untuk memberi dampak positif bagi seluruh kehidupan, bukan hanya jago nyinyir soal selebriti yang tidak tahu menggoreng telur ceplok ya.
Akhir kata, saya sebagai penulis dan pecinta seni mural memuat tulisan ini sebagai salah satu aspirasi, dan menyatakan bahwa mural bukanlah kriminal melainkan seni rasa untuk bersuara yang perlu diperhatikan oleh sejumlah pihak.
Dan bagi yang ingin menyampaikan pendapatnya tetapi mengeluh tidak tahu menggambar, solusinya adalah jangan pernah ragu untuk menuangkannya dalam bentuk karya tulis, seni tarik suara maupun bidang lainnya yang bisa menyuarakan perasaan dan isi pikiran anda.
Salam damai.
Editor : Fabyan Ilat
Artikel Terkait