MANADO, iNews.id – Masyarakat di Nusa Utara (Sangihe, Sitaro dan Talaud) pada 31 Januari tiap tahunnya selalu menggelar Pesta Adat Tulude.
Pesta Adat Tulude juga digelar para etnis Nusa Utara yang tersebar dibeberapa wilayah di Sulawesi Utara, termasuk yang sudah lama menetap di daerah Minahasa Raya dan Bolaang Mongondow Raya.
Dikutip berbagai sumber, Pesta Adat Tulude dirangkaikan dengan upacara Tulude. Dulunya dipenuhi dengan berbagai hal atau ritual yang berbau mistis. Akan tetapi, dengan masuknya agama di tengah masyarakat Sangihe, khususnya protestanisme yang dibawa oleh pihak Belanda, maka hal-hal mistis tersebut lambat laun bergeser menjadi perayaan yang bersifat religius.
Meskipun demikian, sebagian masyarakat Sangihe masih mempercayai apa yang disebut dengan kekuatan jahat, hal-hal yang berbau mistis atau yang sarat dengan okultisme.
Pelaksanaan upacara adat Tulude dilaksanakan oleh para leluhur masyarakat Nusa Utara awalnya setiap tanggal 31 Desember. Pada hari pelaksanaannya tanggal 31 Desember, biasanya ada kesepakatan adat. Upacara adat ini kemudian dialihkan ke tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya.
Hal ini dikarenakan tanggal 31 Desember merupakan waktu yang paling tidak tepat karena sebagian besar masyarakat memeluk agama Kristen.
Dimana, seminggu sebelumnya merupakan acara ibadah malam Natal, lalu tanggal 31 Desember disibukkan dengan ibadah akhir tahun dan persiapan menyambut tahun baru. Akibatnya kepadatan dan kesibukan ibadah ini maka dialihkankan tanggal pelaksanaannya menjadi tanggal 31 Januari. Pada tahun 1995, pemerintah kabupaten kepulauan Sangihe-Talaud melalui DPRD tanggal 31 Januari akhirnya ditetapkan sebagai Perda dan merupakan hari jadi Sangihe Talaud dengan inti acara upacara Tulude.
Tulude diartikan meluncurkan atau melepaskan sesuatu hingga meluncur ke bawah dari ketinggian. Kemudian, kata ini mengalami perluasan makna menjadi melepaskan, meluncurkan, menolak, atau mendorong. Dalam hal ini, Tulude berarti melepaskan tahun yang lama dan siap menerima tahun yang baru.
Tulude dalam bahasa Sangihe berasal dari kata "Suhude" yang berati Tolak, hal ini menolak tahun yang lama dan siap menerima tahun yang baru. Sedangkan Mandullu'u Tonna dalam arti sempit kalau bahasa masyarakat Talaud Mandulu’u yaitu "Lanttu" menolak atau meninggalkan.
Sedangkan "Tonna" adalah "Tahun". Tulude atau Mandullu’u Tonna ini mirip dengan perayaan budaya pengucapan syukur bagi masyarakat di Minahasa. Selain itu, juga sebagai media komunikasi antar budaya masyarakat Sangihe dan Talaud, yang berisi ucapan syukur. Banyak nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur, seperti nilai etika, moral, patriotik.
Upacara adat ini dihelat melewati beberapa tahapan. Dua minggu sebelum digelar, seorang tetua adat menyelam ke dalam lorong bawah laut yang berada di Gunung Banua Wuhu. Tetua adat ini membawa sepiring nasi putih dan emas yang dipersembahkan kepada Banua Wuhu yang bersemayam di lorong tersebut.
Usai menggelar ritual penyelaman tersebut, dimulailah rangkaian perhelatan upacara Tulude yang diawali dengan pembuatan kue adat Tamo di rumah salah seorang tetua adat, sehari sebelum pelaksanaan. Upacara Tulude dilaksanakan pada malam hari, dengan persiapan yang dimulai sejak sore hari.
Editor : Fabyan Ilat