AMURANG Merupakan ikon Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel). Di tempat ini, roda ekonomi warga Minsel berputar.
Di Amurang, banyak dihuni warga dari berbagai etnis bahkan keturunan Portugis, Spanyol, Belanda dan China.
Amurang yang oleh publik Sulut dikenal sebagai Kota Dodol, menjelma jadi tempat yang dilirik para investor.
Membahas sejarah Amurang, dikutip dari berbagai sumber, penduduk di sini berjumlah 17.055, dengan luas wilayah 174,30 km², dan kepadatan penduduk 97,85 jiwa/km².
Amurang berasal dari kata Amoer sebuah sungai di daerah Manchuria. Ketika Portugis menginjakkan kakinya di Sulawesi Utara pada sekitar tahun 1500-an, mereka melihat kekayaan alam di daerah Selatan ini berupa rempah-rempah.
Bagi bangsa Portugis, Amurang pertama kali disebut Amoer. Nanti pada era penjajahan Belanda, kata Amoer disebut dengan dialek Belanda, Amoerlang dan jadi familiar saat itu hingga dibaca Amurang.
Portugis kemudian membangun benteng di Amurang. Benteng ini diperkirakan dibangun pada abad ke-16 M. Sebelum bangsa Spanyol datang ke Amurang, bangsa Cina lebih dulu menempati daerah ini sejak Abad ke-16 M (± tahun 1200). (berdasarkan data tahun yang terdapat diatas benteng serta data sejarah Gereja Minahasa).
Situs Cagar Budaya Benteng Amurang meliputi Kantor Penghubung Bupati-Penjara-Koramil-Gereja GMIM Sentum-Telkom-Kantor Pos-sampai halaman belakang rumah seorang Cina yaitu keluarga Angken. Setelah Bangsa Spanyol menaklukkan Portugis di Amurang, Spanyol kemudian mengambil alih kekuasaan serta menduduki benteng tersebut.
Benteng Amurang semula dibangun di tepi pantai untuk menampung para serdadu dan rohaniwan Portugis.
Tetapi karena letaknya yang strategis, benteng ini kemudian menjadi pusat penaklukan Portugis ke wilayah Minahasa lainnya.
Ketika masih utuh, benteng ini dilengkapi dengan senjata meriam yang menghadap langsung ke arah Teluk Amurang.
Terdapat pula beberapa bangunan pelengkapnya, seperti barak, gudang, fasilitas militer bahkan sebuah kapel (gereja kecil).
Pada tahun 1700-an, bangsa Belanda menguasai benteng ini dan kehadiran mereka banyak mempengaruhi sejarah orang Minahasa. Pada tahun 1943 saat Perang Dunia II, benteng ini diserang oleh tentara sekutu, sehingga menyisakan apa yang bisa dilihat saat ini.
Editor : Norman Octavianus