MANADO, iNEWSMANADO.ID – Rica atau Cabai, si pembawa sensasi pedas yang melegenda dalam kuliner Sulawesi Utara, ternyata menyimpan narasi sejarah yang tak kalah menggigit. Tak sekadar bumbu, kehadirannya adalah cerminan dari gelombang kolonialisme yang mengubah peta rasa Nusantara. Cabai—si buah panas dari Amerika—bukanlah tamu asli bumi Minahasa. Ia adalah oleh-oleh perjalanan bangsa Eropa yang merambah dunia, menyebar lewat jalur dagang, misi agama, dan pertarungan kekuasaan.
Dikutip berbagai sumber, sebelum Columbus menjejakkan kaki di Benua Amerika pada 1492, lidah Eropa belum akrab dengan sensasi pedas cabai. Sang penjelajah, yang berlayar atas nama Spanyol, membawa pulang "emas merah" ini ke daratan Eropa. Tak butuh lama, cabai merambah biara-biara dan kebun gereja, lalu menjadi komoditas yang dibawa ke Asia oleh pedagang Portugis dan Spanyol. Di Nusantara, dua bangsa ini bukan hanya mencari rempah—mereka juga menanam pengaruh, termasuk melalui cita rasa.
Sejarawan kuliner Fadly Rahman mengungkap dua teori masuknya cabai ke Sulawesi Utara. Pertama, melalui Portugis yang mendarat di Maluku untuk menguasai perdagangan cengkeh dan pala. Kedua, lewat Spanyol yang menguasai Filipina sebelum merambah Sulut. "Jalur niaga mereka dari Amerika ke Asia menjadi pintu masuk cabai dan jagung, mengubah pola tanam dan selera lokal," jelas Fadly.
Portugis tiba pertama kali di Pulau Manado Tua pada 1563, membawa serta Injil, cabai, dan tomat. Tak mau kalah, Spanyol menyambangi Talaud dan Siau, menyebarkan Katolik sambil memperkenalkan tanaman baru. Meski sama-sama berdalih misi religius, persaingan mereka di Sulut memanas bak cabai—terutama memperebutkan akses ke Maluku, surga rempah-rempah.
Ivan Kaunang, sejarawan Universitas Sam Ratulangi, menceritakan bagaimana Spanyol akhirnya lebih lama bercokol di Minahasa. Namun, kekerasan dan kesewenangan mereka memicu pemberontakan. Para Waraney (ksatria Minahasa) bersatu, mengusir Spanyol dalam perang 1644-1645. "Ini menjadi katalis bagi Minahasa untuk berkoalisi dengan Belanda pada 1679, menjadikan VOC sebagai tameng dari ancaman Spanyol," papar Ivan.
Kolonialisme meninggalkan luka, tetapi juga warisan kuliner yang mengakar. Cabai yang awalnya alat ekonomi politik Eropa, justru diolah masyarakat Minahasa menjadi identitas rasa yang membara. Rica tak hanya sekadar bumbu—ia simbol resistensi dan adaptasi, di mana pedasnya menjadi metafora semangat Waraney yang tak mudah ditaklukkan.
Setiap gigitan ayam rica-rica atau brenebon tak cuma memuaskan lidah, tetapi juga mengisahkan silang budaya: rempah Amerika, naluri dagang Eropa, dan kegigihan Minahasa yang merajutnya jadi citarasa tak terlupakan. Pedasnya rica, seperti sejarahnya, tetap membara—mengingatkan bahwa setiap rempah punya kisah yang layak diceritakan.(*)
Editor : Fabyan Ilat
Artikel Terkait