ISTILAH Buaya darat dan hidung belang jadi tren di Indonesia.
Istilah buaya darat identik dengan ketidaksetiaan seorang lelaki. Begitujuga dengan istilah hidung belang. Kedua istilah itu sering dijadikan kata ‘penghakiman’ bagi para lelaki.
BACA JUGA: Bocah Tewas Dianiaya Ibu Tiri Diduga Alami Luka Bakar di Perut dan Batok Kepala Diduga Retak
Tapi tahukah kalian darimana asal istilah buaya darat dan istilah hidung belang?
Banyak referensi terkait istilah buaya darat dan istilah hidung belang.
Dirangkum dari berbagai sumber, iNewsManado coba membeber sejarah istilah buaya darat dan sejarah istilah hidung belang.
Perbedaan pendapat terjadi pada istilah buaya darat. Dikutip berbagai sumber, sejarah istilah buaya darat dimulai di Riau.
Istilah buaya darat diambil dari kebiasaan buaya yang sering diam-diam berburu mangsa.
Buaya bahkan tetap memakan mangsanya walaupun sudah menjadi bangkai. Dari kebiasaan itu pula muncul istilah buaya darat yang dikaitkan dengan kebiasaan manusia yang tidak setia dan selalu mencari mangsa ibarat buaya.
Kemudian istilah hidung belang. Sejarah istilah hidung belang dilansir berbagai sumber terjadi pada abad ke-17 tepatnya 19 Juni 1629 di Kota Batavia, Hindia Belanda. Saat itu, Batavia dipimpin seorang Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.
Di masa pemerintahan Coen, hukuman mati tidak pandang bulu, terutama kepada para penjahat. Salah satu cerita hukuman mati yang diperintahkan Coen dan melegenda di bumi persada kita hingga kini adalah, dipenggalnya seorang prajurit Belanda bernama Pieter Contenhoef.
Pieter Contenhoef saat itu bertugas sebagai pengawal kastil Batavia sehingga sering keluar masuk rumah sang gubernur jenderal. Penjaga kastil (dalam bahasa Belanda disebut De Vaandrig Van de Kasteelwacht) yang saat itu berusia 17 tahun tersebut ternyata bernyali besar. Ia berani mengencani Saartje Specx (atau Sara Specx), putri angkat Coen yang ketika itu baru berusia 12 tahun. Cinta Pieter Contenhoef tak bertepuk sebelah tangan karena Saartje juga tergila-gila dengan ketampanan sang serdadu muda yang dilihatnya saban hari.
Saartje adalah putri dari Jacquees Specx, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-7 (pengganti Coen) yang dititipkan kepada Coen di Batavia. Saartje adalah putri Jacquees dari selirnya, perempuan asal Jepang. Saartje lahir di basis perdagangan Belanda di Pulau Hirado. Berdasarkan peraturan VOC, Saartje yang berdarah Asia dari ibunya, tidak berhak tinggal di Belanda, sehingga Saartje dititipkan ayahnya ke Coen di Batavia.
Dalam buku berjudul Sara Specx yang ditulis Tjoa Piet Bak dan diterbitkan pertama kali di Bandung pada 1926 diceritakan, saat tinggal bersama Coen, Saartje yang masih belia jatuh hati kepada Pieter Contenhoef seorang serdadu muda yang disebut memiliki wajah rupawan. Syahdah, dua insan yang belum menikah namun sedang dimabuk cinta itu melakukan hubungan badan.
BACA JUGA: Astaga! Ketersedian Pangan Menipis, Pemerintah Sri Lanka Sebut Rakyat Akan Kelaparan
Tak tanggung-tanggung Pieter Contenhoef tertangkap basah sedang meniduri Saartje di dalam kamar di rumah Coen. Celakanya kisah percintaan terlarang lantaran beda kasta itu terbongkar.
Kabar percintaan dua remaja itu pun sampai ke telinga Coen yang disebut orang Betawi sebagai Si Tuan Jangkung. Ketika itu, Coen yang sedang dipusingkan dengan penyerangan pasukan Kesultanan Mataram, disebut marah besar hingga membuat kursi dan meja kerjanya bergetar hebat saat tahu putri angkatnya ditiduri seorang prajurit rendahan.
Editor : Fabyan Ilat