KOTAMOBAGU, iNewsManado.com - Prof Ing Mokoginta bersama Dr Sientje Mokoginta dan Ir. MA Ineke S. Indrarini sah pemilik tanah Surat Hak Milik (SHM) Nomor 98 Tahun 1978.
Hal tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Nomor 559 K/TUN/2018 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Serta berdasarkan surat pengumuman kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Kotamobagu tentang pembatalan sertifikat nomor Hp.02.03/286.71.74/X/2022 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 29 PK/pdt/2024 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan hal tersebut, melalui Advokat Franziska Runturambi dan Advokad Nathaniel Eliazar M. Hutagaol dari LQ Indonesia Law Firm Jakarta mendatangi Tanah milik Prof Ing Mokoginta, Dr Sientje Mokoginta dan Ir. MA Ineke S. Indrarini di kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu Barat, RT 25, RW 7, Lingkungan IV, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut), Selasa, 8 Oktober 2024.
Advokat dari LQ Indonesia Law Firm Jakarta memasang papan pengumuman terkait ahli waris sah tanah tersebut.
Dampaknya ada empat warga yang diduga tertipu saat melakukan pembelian tanah kepada laki laki inisal M alias Maxi. Pun, keempat warga tersebut akan lakukan langkah hukum. Keempat warga yakni, Adry Lomban, Hendrik Liono, Alexander Inkiriwang, dan Johny Humbertus
Hendrik Liono, salah seorang pembeli tanah menuturkan awal pembelian tanah tersebut. Menurutnya, ia tertarik membeli karena melihat adanya sertifikat atas tanah tersebut.
Pembelian tanah dilakukan Hendrik pada tahun 2010 dari seseorang bernama Maxi Mokoginta. Ia membeli tanah seharga Rp40 juta.
“Orang-orang juga sudah beli, ada sertifikat, jadi orang-orang suka beli. Lalu di pertanahan sudah keluarkan sertifikat ke orang-orang,” jelas Hendrik di lokasi.
Menurut Hendrik, sertifikat tanah itu diketahui atas nama Maxi. Sertifikat dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Kotamobagu, Sulawesi Utara.
Hendrik menuturkan, dirinya selalu berhati-hati saat melakukan transaksi jual beli, termasuk untuk urusan tanah. Ia akhirnya bersedia membeli tanah sengketa, karena percaya dengan sertifikat yang ditunjukkan kepada dirinya.
“Jadi, tahun 2018 timbul sengketa. Dulu saya bayar, kalau orang tahu, itu orang tidak mau membeli,” ujarnya.
Pasca-keluarnya putusan MA no.29 PK/Pdt/2024 yang telah berkekuatan hukum tetap, Hendrik mengaku akan menerima semua konsekuensi atas putusan tersebut. Dirinya juga bersedia untuk keluar dari lokasi sengketa dan tidak akan melakukan perlawanan.
“Kalau memang itu, kita minta waktu kalau harus keluar. Karena kita bersalah. Kita langsung kalah kan. Tidak mau membuat apa lagi,” tegasnya.
Sementara terkait gugatan kepada Maxi Mokoginta, menurut Hendrik hal itu sangat terbuka dilakukan. Hanya saja dalam waktu dekat, ia hanya ingin bertemu Maxi untuk menanyakan kejelasan tanahnya yang ternyata milik orang lain.
“Ya, nanti mau dibicarakan, nanti mau tanya dulu sama dia. Nanti saya mau negosiasi dengan dia, termasuk langkah hukum yang mungkin diambil,” paparnya.
Lebih jauh, Hendrik menuturkan, pihaknya sangat menantikan itikad baik dari Maxi, karena dari dialah semua masalah ini berawal. Karena ia yang telah memulai, maka ia juga yang harus mengakhirinya, termasuk dengan mengganti semua biaya yang telah dikeluarkan.
Sementara itu, Alexander Inkiriwang yang juga membeli tanah kepada Maxi mengatakan akan mengambil langkah hukum dan pertanggungjawaban terhadap persoalan ini.
“Kami kan korban, baru mengetahui terkait putusan ini.
Advokat Franziska Runturambi dari LQ Indonesia Law Firm mengatakan, Putusan PK terakhir, Prof. Ing Mokoginta, Dr. Sientje Mokoginta dan Ibu Inneke S Indrarini adalah pemilik sah atas tanah yang saat ini kami tangani,” ujar Franziska menjelaskan penyerobotan tanah milik Prof. Ing Mokoginta telah menghasilkan ada dua putusan berkekuatan hukum tetap.
Pertama, putusan yang menyatakan asal tanah itu adalah SHM nomor 98 tahun 1978 dan tidak pernah berubah sejak saat itu.
“Kemudian terbit SHM 2567 dan sudah digugat, di PTUN Manado, sampai putusan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung yang dimenangkan oleh Prof. Ing. Mokoginta Cs. Juga sudah dilakukan eksekusi oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan ditariknya sertifikat 2567 bersama turunan sertifikat di bawahnya seluruhnya,” paparnya.
Putusan kedua, kata Franziska, putusan berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan oleh penggugat yaitu Stella Mokoginta Cs dengan melakukan gugatan dari tingkat pengadilan negeri lalu naik ke pengadilan tinggi, kasasi dan juga berakhir dengan peninjauan kembali (PK).
“Sampai dengan putusan inkrah PK itu dimenangkan oleh Prof. Ing Mokoginta Cs. Makanya kami memberikan penegasan kepada pihak-pihak yang menempati tanah ini bahwa sekaligus pemberitahuan yang jelas dan tegas, bahwa jangan lagi ada pihak-pihak yang mengaku-ngaku ahli waris yang sah atau mengaku-ngaku memiliki sertipikat atas tanah ini,” terang Franziska.
Karena tanah ini, kata Franziska, sertifikatnya hanya ada satu, yakni SHM nomor 98 tahun 1978 atas nama Prof. Ing Mokoginta, Dr. Sientje Mokoginta dan Ibu Inneke S Indrarini selaku ahli waris yang sah.
Selain itu, Franziska mengungkapkan pemasangan plang telah diketahui oleh warga yang menempati lokasi itu secara illegal. Kepada penghuni telah dilakukan pertemuan, termasuk pemberitahuan atas status hukum terkini dari lahan yang mereka tempati.
“Kami juga sudah melakukan pertemuan dan ini ada beberapa warga yang menempati yang bisa dikatakan tertipu, karena mereka menjual kepada bapak-bapak ini. Mereka mengaku tanah ini adalah milik mereka, padahal tanah ini bukan milik mereka,” paparnya.
Advokad Nathaniel Eliazar M. Hutagaol dari LQ Indonesia Law Firm mengingatkan tentang potensi sejumlah orang dari pembeli yang akan dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian. Pasalnya, beberapa waktu lalu, Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri telah mengeluarkan hasil gelar penetapan tersangka.
“Sebenarnya kami pada prinsipnya, ketika ada penetapan tersangka, nama orang-orang yang menempati di tempat ini, kami miris,” katanya.
Nathaniel menambahkan, “Kenapa kami miris? Begini, pembeli itu bisa kena menjadi tersangka, terus penjualnya bagaimana? Muara perkara ini dari penjual, dan lebih muara dari penjual itu adalah BPN Kotamobagu. Kenapa BPN Kotamobagu menerbitkan sertifikat?”
Apabila tidak ada sertifikat ganda, kata Nathaniel, tidak mungkin warga membeli tanah tersebut.
“Maka kami minta kepada penyidik Mabes Polri untuk tegas menindak semua yang menjadi pelakunya. Jangan lagi di-oper kesana, ke mari, kasihan,” tegasnya.
Termasuk, jangan sampai ada orang-orang yang harus dikriminalisasi. “Tekan penjualnya, tekan siapa yang menerbitkan sertifikat. Jangan mereka (penghuni), buat apa? Mau tukar guling? Jangan sampai seperti itulah, ini hukumnya harus tegak.”
Editor : Fabyan Ilat