RUSIA, iNews.id – Perang Rusia dan Ukraina memantik pro dan kontra dibelahan dunia.
Perang ini terjadi setelah ketegangan yang kian meningkat selama berbulan-bulan antara kedua negara.
Sebelumnya Presiden Rusia Vladimir Putin pada Senin (21/2) mengakui pembentukan dua negara di wilayah separatis Ukraina timur. Lalu apa latar belakang konflik di Ukraina yang kini meluas menjadi eskalasi Barat-Rusia ini?
Dikutip DW, pada Februari 2014, Presiden Ukraina pro Moskow Viktor Janukovich digulingkan dari kekuasaan oleh protes massal di ibukota Kiev.
Sebelumnya, Janukovich menolak menandatangani perjanjian asosiasi Ukraina dan Uni Eropa atas tekanan Rusia. Penolakan itu membangkitkan kemarahan banyak warga yang sudah bergembira akan masuk Uni Eropa. Apalagi banyak tuduhan tentang korupsi para pejabat pemerintahan, termasuk Viktor Janukovich, yang akhirnya melarikan diri ke Rusia.
Rusia pun membalas dengan mengirim pasukan ke Semenanjung Krimea. Setelah menguasai Krimea, Rusia mengobarkan pemberontakan separatis di kawasan Ukraina Timur yang sebagian besar warganya berbahasa Rusia, yang dikenal sebagai wilayah Donbas, dengan mengirim persenjataan kepada kubu separatis.
Pada April 2014, pemberontak yang didukung Rusia merebut gedung-gedung pemerintah di wilayah Donetsk dan Luhansk, lalu memproklamirkan pembentukan dua republik baru. Bulan berikutnya, kedua wilayah separatis itu mengajukan permohonan untuk menjadi bagian dari Rusia. Tapi Moskow belum menanggapi permohonan itu secara resmi.
Rusia diketahui ingin mencegah Ukraina menjadi anggota NATO, seperti negara-negara Eropa Timur lainnya. Moskow juga membantah mengirim pasukan dan senjata ke Ukraina timur, dengan mengatakan bahwa warga Rusia yang bertempur di Ukraina timur adalah relawan, bukan anggota militernya.
Di tengah pertempuran sengit yang melibatkan tank, artileri berat dan pesawat tempur, pesawat penumpang Malaysia Airlines yang berangkat dari Belanda ditembak jatuh di Ukraina timur pada 17 Juli 2014, menewaskan semua 298 orang di dalamnya. Penyelidikan internasional menyimpulkan bahwa jet penumpang itu ditembak jatuh dengan rudal yang dipasok Rusia dari wilayah yang dikuasai pemberontak di Ukraina timur.
Setelah pasukan Ukraina terdesak kubu separatis, delegasi pemerintah Ukraina, wakil-wakil separatis dan wakil dari Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa OSCE melakukan perundingan dan akhirnya menandatangani kesepakatan gencatan senjata di ibukota Belarusia, Minsk.
Perjanjian itu antara lain menyebut gencatan senjata akan diawasi oleh OSCE. Semua pasukan asing harus mundur dari wilayah konflik, pertukaran tahanan dan sandera, mundurnya semua pejuang asing dari wilayah Ukraina, amnesti bagi kaum pemberontak dan janji bahwa daerah-daerah separatis akan memiliki status otonomi. Namun kesepakatan itu ternyata tidak tahan lama, pertempuran kembali pecah sampai Februari 2015.
Prancis dan Jerman akhirnya menengahi perjanjian damai baru, yang ditandatangani di Minsk pada Februari 2015 oleh perwakilan Ukraina, Rusia, dan kubu separatis. Perjanjian itu juga memuat pesyaratan penarikan senjata berat dari wilayah sengketa.
Sebuah deklarasi mendukung perjanjian perdamaian itu ditandatangani oleh para pemimpin Rusia, Ukraina, Prancis, dan Jerman.
Perjanjian Perdamaian yang kemudian juga dikenal sebagai "Dokumen Minsk” itu membantu mengakhiri pertempuran besar, tetapi situasi tetap tegang di garis demarkasi.
Kedua pihak saling tuduh bahwa pihak lain memulai pertempuran dengan melanggar perjanjian perdamaian.
Untuk mengamankan pengaruhnya di Ukraina timur, Moskow juga membagikan lebih dari 720.000 paspor Rusia kepada warga di Donbas, sekitar seperlima dari seluruh populasi yang berjumlah sekitar 3,6 juta orang.
Pengakuan Putin atas kemerdekaan dua wilayah yang dikuasai pemberontak secara efektif telah membuyarkan Perjanjian Damai Minsk.
Kedua pemimpin separatis hari Senin (21/2) hadir di Moskow dan bersama-sama dengan Vladimir Putin menandatangani "perjanjian kerjasama”, termasuk dukungan militer dari Rusia.
Editor : Fabyan Ilat