JAKARTA, iNewsManado.id - Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Pekerja (SP) PT PLN menolak masuknya skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena dinilai sebagai bentuk liberalisasi pengelolaan listrik.
Wadah organisasi yang beranggotakan para pekerja PLN menyatakan bahwa pembahasan RUU EBET sebaiknya dilanjutkan pada masa kepemimpinan presiden periode 2024- 2029.
Ketua umum M. Abrar Ali dalam keterangan tertulisnya menyampaikan bahwa Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PLN menegaskan penolakan terhadap pengesahan RUU EBET sebagai undang-undang jika tetap menyertakan klausul power wheeling.
"Skema ini tidak mengutamakan kepentingan rakyat dan lebih condong memberikan keuntungan kepada korporasi oligarki," kata Abrar Ali, Jumat (12/7/2024).
Power wheeling merupakan mekanisme yang dapat mentransfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi (transmisi) milik negara secara langsung. Skema ini sempat ditarik dari Daftar Invetarisasi Masalah dalam pembahasan RUU EBET, namun belakangan masuk lagi.
Dengan skema ini, pembangkit swasta bisa menjual listriknya langsung ke masyarakat dengan fasilitas jaringan PLN dan membayar biaya tertentu sebagai sewa. Namun, pembangkit yang bisa ikut skema ini hanya yang berasal dari energi baru terbarukan.
Abrar Ali juga meminta keputusan pemerintah untuk memasukkan Power Wheeling RUU EBET sebaiknys tidak dipaksakan.
“Karena hal ini hanya untuk memenuhi kepentingan politik Rezim yang akan berakhir pada Oktober mendatang. Lagi pula, penolakan dari RUU masih terus bergulir dari berbagai pihak. Hal tersebut menunjukkan adanya potensi masalah yang akan merugikan masyarakat dan negara,” tutur Abrar.
Makanya, Abrar menyarankan agar pembahasan RUU, terutama mengenai skema Power Wheeling,sebaiknya dilanjutkan pada periode pemerintahan berikut.
Pernyataan ini juga kata Abrar untuk menanggapi pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (24/5/2024) yang lalu, dimana, Menteri Arifin Tasrif menyatakan dukungan penuh pemerintah terhadap inklusi skema Power Wheeling ini masuk dalam RUU EBET.
“Kami melihat ini adalah bentuk kekhawatiran dari Menteri ESDM terhadap PT PLN yang dinilainya kemungkinan tidak mampu memenuhi permintaan energik listrik yang tinggi, sehingga ada kesan yang terlalu didramatisasi untuk meloloskan skema Power Wheeling,” ujar Abrar.
Menurut Abrar Ali, ada indikasi terlalu di-dramatisasi soal lonjakan demand tersebut. Padahal sudah terbukti kalau hingga saat ini PT PLN masih eksis melayani kebutuhan listrik masyarakat dan dunia industri.
“Jadi, jangan terlalu didramatisasi, kasihan rakyat. Rakyat kini sudah lelah menghadapi ekonomi yang sudah morat marit” tegas Abrar.
Disisi lain Ketua Umum SP PT PLN ini juga menyarankan Power Wheeling ini perlu lagi dilakukan kajian yang mendalam plus minusnya. Karena sampai saat ini dalam rapat tersebut masih terjadi tarik menarik.
Buktinya, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto menyatakan partainya menolak skema power wheeling dimasukkan dalam RUU EBET.
“Alasannya, karena tidak sekedar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh swasta. Tapi, ada implikasi krusial, dimana PLN tidak lagi menjadi satu satunya lembaga Sistem Single Buyer and Single Seller (SBSS) tapi membentuk multi buyer and multi seller system(MBMS ),” ungkap Abrar yang mengutip pernyataan mulyanto dari sejumlah media.
Abrar juga menyampaikan pendapat dari pengamat ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada UGM) Fahmy Radhi juga ikut menyoroti potensi penambahan beban APBN dan dampak merugikan Negara akibat power wheeling,yang dapat menggerus permintaan pelanggan PLN hingga 30 persen untuk organik dan hingga 50 persen untuk non organik
Penurunan ini tidak hanya meningkatkan kelebihan pasokan PLN, tetapi juga menaikkan harga pokok penyediaan(HPP) Listrik. Dampaknya dapat memperbesar APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, karena tarif listrik berada dibawah HPP dan harga ke-ekonomi-an. Selain itu, penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar juga akan membuat tarif listrik bergantung pada demand dan supply.
Oleh sebab itu, Dewan Pengurus Pusat SP PT PLN menyarankan kepada para wakil rakyat untuk pending sementara pembahasan RUU EBET sambil menunggu pemerintahan yang baru periode 2024 -2029. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kerugian yang tidak perlu.
“Jadi, masih ada waktu untuk melakukan pembahasannya. Tidak perlu buru buruagar tidak ada yang dirugikan. Jangan hanya ingin memaksakan ‘syawat politik ‘ yang harus selesai sebelum periode presiden sekarang berakhir Oktober.Kasihan Rakyat dan akan menjadi beban negara nantinya,” pungkas Abrar.
Sekedar diketahui, SP PLN pada Rabu, 3 April 2024, telah menyampaikan pernyataan sikap kepada DPR RI menyusul pernyataan Menteri ESDM di media untuk mendorong masuknya skema power wheeling dalam RUU EBET. Isi pernyataan SP PLN tersebut adalah:
Pertama, mendukung sikap Presiden RI yang mengeluarkan skema power wheeling dari DIM RUU EBET.
Kedua, menolak power wheeling masuk kembali dalam pembahasan lanjutan RUU EBET karena sarat dengan muatan liberalisasi di sektor ketenagalistrikan yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Ketiga, sikap penolakan SP PLN didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001 – 021.022/PUU-I/2003 Judicial Review Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 111/PUU-XIII/2015 Judicial Review Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Terakhir, keempat meminta diadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang melibatkan Serikat Pekerja PT PLN (Persero) pada kesempatan pertama.
Editor : Subhan Sabu