SULAWESI Utara memiliki Saguer sebagai minuman tradisional.
Saguer merupakan bahan baku pembuatan Cap Tikus yang lebih beken disebut minuman khas Sulut.
Saat ini seiring perkembangan zaman, Saguer mulai dilupakan generasi muda. Hanya dikampung tertentu masih melanjutkan tradisi mengonsumsi Saguer baik dihari-hari tertentu maupun dalam perayaan hari raya keagamaan.
Saguer kurang dikenal seiring melekatnya Cap Tikus sebagai minuman khas Sulut yang telah dikenal dunia.
Saguer adalah minuman dengan kadar alkohol rendah yang berasal dari fermentasi air seho (Aren).
Dirangkum berbagai sumber, Saguer dari jaman dahulu dijadikan minuman tradisional masyarakat etnis.
Saguer dibuat dengan cara mencampurkan air nira segar dari pohon aren dengan air nira yang telah difermantasi ke dalam ruas bambu dengan ujung saringan berbentuk ijuk kelapa.
Makin bersih ijuknya, maka makin berkualitas airnya. Kemudian campuran itu dibiarkan beberapa waktu dan baru dinikmati.
Minuman ini pernah menempati kejayaannya pada masa perang Jawa di tahun 1829. Tampil dengan kadar alkohol lebih tinggi dengan nama Cap Tikus, minuman khas Minahasa ini dijual oleh para pedagang Tiongkok di Benteng Amsterdam, Manado.
Jessy Wenas, penulis buku “Sejarah dan Kebudayaan Minahasa”, dalam bukunya menuliskan Minahasa mengenal tiga dewa saguer atau dewa-dewa minuman alkohol, yakni: Makawiley, Kiri Waerong yang dihubungkan dengan pembuatan gula merah dari saguer yang dimasak, dan Parengkuan yang dihubungkan dengan air saguer.
Missionaris dan penulis belanda, N . Graafland dalam bukunya berjudul “De Minahasa“, ia menuliskan “Het is de drank der Empung en Kasuruan, een godendrank, die bijna voor heilig gehouden wordt, de saguwer” yang apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia “(itu adalah) minuman para Empung dan Kasuruan (leluhur dan dewa-dewa), minuman dewata, minuman yang hampir dianggap suci: saguer.”
Awalnya, ada hukum adat yang menyatakan bahwa saguer adalah minuman dewa dan leluhur, sehingga tak boleh diperdagangkan, namun pada abad ke-18 minuman ini boleh diperdagangkan sebagai tambahan penghasilan para petani.
Editor : Norman Octavianus