Ikhwal cerita, Pada 1817, Joseph Kam, yang biasa disebut Rasul bagi Ambon mengadakan perjalanan inspeksi ke Minahasa yang dilanjutkan dengan inspeksi kedua pada tahun 1819.
Kemudian pada 1821, Joseph Kam mengirim dua missionaris yang langsung meninggal dunia tidak lama setelah tiba di Minahasa. Beberapa tahun kemudian, pada 1827, G. J. Hellendoorn dikirim oleh Kam untuk melayani di Manado.
Tugas pertama yang dia lakukan adalah untuk melayani jemaat kecil warga asal Eropa.
Namun Hellendoorn digerakkan oleh Tuhan untuk melayani penduduk asli yang sudah beragama Kristen. Hellendoorn banyak menghadiri pelayanan pendidikan untuk penduduk setempat, yang mana mereka-mereka inilah yang nantinya menjadi para pendiri sekolah di Minahasa.
Sekolah-sekolah ini adalah pendidikan yang diorientasikan terhadap kegiatan keagamaan. Pada 1832, Hellendoorn telah mengurus sekitar 20’an sekolah yang mendidik 700 murid. Ketika Hellendoorn meninggal dunia pada 1939, badan Misi Minahasa mengurus 56 sekolah dengan 4000 murid.
Pelayanan Hellendoorn lebih menggunakan jalur pemuridan ketimbang pembaptisan Kristen. Meskipun Hellendorn lebih terfokus untuk melayani di Manado, dia mendesak jikalau Joseph Kam mengirim missionaris lagi, seharusnya missionaris tersebut lebih terfokus kepada wilayah yang belum terjangkau, pedalaman Minahasa.
Atas penyertaan Tuhan, masukan dari Hellendoorn diterima baik oleh Joseph Kam. Ketika 1831, Joseph Kam mengirim dua missionaris asal Jerman Riedel dan Schwarz. Johann Freidrich Riedel yang memulai pelayanan di Tondano; bersama Johann Gottlob Schwarz yang melayani di Langowan yang tidak terlalu jauh dari Tondano.
Johann Gottlieb Schwarz lahir pada 21 April 1800 di Konigsbergen, wilayah Jerman sebelah Timur yang sekarang ini sudah memasuki teritori negara Rusia yang disebut Kaliningrat.
Ayahnya adalah seorang pembuat sepatu yang memiliki kehidupan yang sangat spiritual. Kehidupan ayahnya ini yang mempengaruhi Schwartz ketika masih muda.
Tiada hari tanpa membaca Alkitab. Dia sangat tertarik dengan cerita-cerita para Zendeling di berjuang di tengah-tengah budaya dan agama asing, tetapi sama sekali dia tidak pernah punya ketertarikan menjadi seorang diantara para zendeling. Namun pada 1821, dia mendengar informasi tentang pembukaan Zendeling Institute yang siap untuk mendidik para penginjil di kota Berlin.
Schwartz mulai berhasrat untuk menjadi seorang zendeling. Ternyata hasrat tersebut merupakan jawaban doa dari para orang tua yang memohon agar anak mereka dipakai oleh Tuhan.
Pada 31 Agustus 1821, Schwartz tiba di Berlin. Sambil menunggu Zendeling Institute yang dibuka pada 1 Mei 1822, dia bekerja sebagai pembuat sepatu. Di sinilah dia bertemu dengan Johann Frederik Riedel yang akan menjadi teman seperjuangan di Minahasa. Mereka berdua belajar ilmu eksakta, bahasa Inggris, Latin, Yunani, Ibrani, dogmatika, homilitika, musik, melukis, pastoral praktis bahkan memasak sampai tahun 1825 di instutut tersebut.
Oleh NZG Schwartz diminta untuk mengupayakan pendidikan bagi tenaga-tenaga pribumi untuk memberitakan Injil. Bukan dengan cara menyebarluaskan perbedaan konvensi, melainkan ‘kekristenan dalam hati’. Salah satu hal pokok yang ditekankan NZG adalah mengenai pembaptisan. Ketulusan dan keyakinan seorang calon baptisan harus menjadi kriteria utama dalam pembaptisan yang akan dilaksanakan oleh Schwarz.
Dalam melaksanakan tugas memberitakan Injil, Schwarz memakai metode yang sangat sederhana. Ia menggunakan kata-kata yang hidup dalam masyarakat tanpa bentuk-bentuk tertentu, tanpa catatan dan tanpa buku-buku. Ia mengajarkan Injil melalui bahasa yang bisa dipahami masyarakat setempat, dan karena pembawaannya yang ramah ia mampu mengadakan pendekatan pada mereka.
Editor : Fabyan Ilat