KERAJAAN Majapahit ternyata menggunakan Suku Kalang atau Wong Kalang dalam perang dimasa lalu. Sukau Kalang atau Wong Kalang adalah salah satu suku di masyarakat Jawa. Mereka ada sejak zaman kerajaan -kerajaan Nusantara.
Tetapi karena satu dan lain hal, mereka dikucilkan oleh masyarakat mayoritas saat itu. Pengucilan tersebut yang mengawali sebutan "kalang".
Dikutip dari berbagai sumber, kata "kalang" berasal dari bahasa Jawa yang artinya "batas".
Lingkup sosial orang-orang ini sengaja dibatasi (atau dikalang) oleh otoritas atau masyarakat mayoritas waktu itu. Orang Kalang sengaja diasingkan dalam kehidupan masyarakat luas, karena dulu ada anggapan bahwa mereka liar dan berbahaya.
Istilah "kalang" pertama ditemukan dalam prasasti Kuburan Candi di Desa Tegalsari, Kawedanan Tegalharjo, Kabupaten Magelang, yang berangka tahun 753 Saka (831 Masehi).
Jadi diduga, suku ini telah ada sejak Jawa belum mengenal agama Hindu. Menurut mitos orang kalang adalah maestro pembuat candi yang secara fisik berbadan kuat dan tegap.
Ada kemungkinan berasal dari Khmer atau Kamboja dimana orang kuat di negeri tersebut diterjemahkan sebagai manusia k'lang.
Dimana seperti kita ketahui candi di negeri Khmer mempunyai kemiripan dengan dengan candi di Jawa, Setelah Hindu masuk, Wong Kalang semakin tersisih oleh sistem pengastaan, karena ketidakjelasan nenek moyang mereka.
Orang Kalang pun dipaksa tinggal di daerah-daerah pengasingan, seperti pantai yang berpaya-paya, tepi sungai, lereng-lereng gunung yang tinggi, serta tanah-tanah tandus.
Sebagian lainnya hidup nomaden dari hutan ke hutan. Lingkungan yang keras itu menempa mereka menjadi pekerja keras.
Sehingga, pihak otoritas Kerajaan Majapahit waktu itu memanfaatkan tenaga mereka untuk proyek-proyek fisik berskala besar, antara lain sebagai penebang pohon, juru angkut, terkadang juga prajurit tempur di medan peperangan yang didatangkan dari sekitar gunung Lawu, yakni Desa Kalang, Kabupaten Magetan.
Disebutkan dalam buku Javaansch Nederduitsch Woordenboek, bahwa Kalang adalah nama sebuah etnis di Jawa yang dulu hidup di sekitar hutan, dan mereka diduga memiliki asal keturunan yang hina.
Secara fisik, menurut Pieter Johannes Veth, orang Kalang memang memiliki fisik yang lain dengan penduduk setempat.
Mereka lebih mirip dengan suku Negrito di Filipina yang berkulit legam dan berambut keriting. Orang Kalang juga dianggap pendatang dari Kedah, Kelang, dan Pegu pada tahun 800 Masehi.
Dengan sejumlah perbedaan fisik dan latar belakang tersebut, orang Kalang memilih hidup memisahkan diri dari pemukiman warga lainnya. Akhirnya, oleh otoritas Kerajaan Hindu saat itu, mereka dicap tidak memiliki kasta (kaum paria).
Semakin besarlah jarak di antara mereka dan masyarakat umum. Sebab dalam sistem kasta, orang yang tidak berkasta tidak boleh berhubungan dengan orang yang berkasta, sekalipun itu orang dari kasta terendah (Sudra).
Kendati demikian, hubungan kerja tetap terjalin sesekali. Namun, karena karakter orang Kalang yang keras, liar, dan berbahaya, sering terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Antara lain pembangkangan orang Kalang, sebagaimana tertulis dalam penelitian Hery Santoso. Dikisahkan dalam buku Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa (2004), orang Kalang melakukan aksi penebangan kayu secara liar. Pada era Majapahit, komunitas Kalang ditugaskan untuk menjaga hutan agar tidak kemasukan penyusup yang membahayakan kerajaan. Alasannya, orang Kalang dianggap sakti.
Editor : Fabyan Ilat