MANADO, iNewsManado.com - Kasus Ferdy Sambo yang awalnya dihukum mati kemudian oleh Mahkamah Agung (MA) diputuskan hanya seumur hidup dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua Hutabarat, terus memicu perdebatan di Indonesia.
Kasus yang mengguncang Indonesia pada Juli 2022 silam itu, mendapat kecaman terkait putusan MA terhadap hukuman Ferdy Sambo.
Pada Selasa, (8/8/2023), Mahkamah Agung (MA) memutuskan mengubah hukuman Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan berencana Brigadir Brigadir Yosua Hutabarat.
Hal itu diputuskan lewat sidang putusan sidang kasasi di gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa, (8/8/2023).
"Tolak kasasi PU dan terdakwa dengan perbaikan kualifikasi tindak pidana. Pidana penjara seumur hidup," ucap Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Sobandi di Gedung MA, Selasa (8/8/2023).
Dalam mengadili perkara ini, MA menurunkan lima hakim. Suhadi terpilih sebagai Ketua Hakim, dibantu oleh hakim anggota yakni Suharto, Jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes. Sobandi mengatakan, sidang digelar secara tertutup, yang dimulai sejak sekitar pukul 13.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 17.00 WIB.
Selain Kasus Ferdy Sambo, ternyata ada 2 kasus pembunuhan yang memicu kontroversi di Indonesia. Berikut ulasan lengkapnya dirangkum Kamis (10/8/2023).
Foto/Istimewa
Selain kasus Ferdy Sambo, salah satu kasus pembunuhan yang mengguncang Indonesia terjadi pada tahun 2001. Adalah Tommy Soeharto, anak Presiden RI ke 2 Soeharto yang jadi tersangka.
Diawali pada April 1999, Tommy bersama rekan bisnisnya, Ricardo Gelael, disidang atas penipuan lahan senilai $11 juta.
Mereka dinyatakan tidak bersalah pada Oktober 1999 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada September 2000, panel tiga Hakim Agung yang dipimpin Syafiuddin Kartasasmita membatalkan putusan tersebut dan menjatuhkan hukuman penjara selama 18 bulan kepada Tommy dan Gelael atas tindak pidana korupsi.
Tommy menolak dipenjara dan bersembunyi. Istri Kartasasmita kemudian menduga bahwa suaminya menolak suap sebesar $20.000 dari Tommy.
Pada Juli 2001, Tommy membayar Rp100 juta kepada dua pembunuh bayaran untuk membunuh Kartasasmita. Kartasasmita ditembak mati di tengah perjalanan ke kantor. Mahkamah Agung Indonesia yang dikenal sangat korup menanggapi kasus pembunuhan ini dengan membatalkan putusan korupsi Tommy pada Oktober 2001. Tindakan ini dinilai sebagai bagian dari kesepakatan agar ia keluar dari persembunyian. The Jakarta Post menulis bahwa putusan tersebut "melenyapkan remah-remah kredibilitas yang tersisa dari penegak hukum tertinggi di negara ini".
Pada tanggal 26 Juli 2002, Tommy dihukum 15 tahun penjara atas pembunuhan, kepemilikan senjata api ilegal, dan menghindari penahanan. Kasus pembunuhan sebenarnya diganjar hukuman mati, tetapi jaksa hanya menuntut kurungan 15 tahun.
Tommy jarang menghadiri sidang, mengaku sakit, dan absen saat putusannya dibacakan. Para pendukung bayarannya hadir di luar ruang sidang.
Ia menjalani tiga pekan pertamanya di sel mewah Blok H di Lapas Cipinang, Jatinegara, Jakarta Timur, lalu dipindahkan ke Pulau Nusa Kambangan di lepas pantai selatan Jawa Tengah. Sel mewahnya yang berukuran 8 x 3 meter dilapisi karpet dan dilengkapi sofa, lemari, televisi, kulkas, alat makan, pendingin udara, penyaring air, komputer jinjing, dan dua telepon genggam.
Ia sering diizinkan bepergian ke Jakarta dengan alasan kesehatan dan diketahui mengunjungi sebuah lapangan golf eksklusif. Pada April 2006, ia dipindahkan kembali ke Cipinang. Masa kurungannya dikurangi menjadi 10 tahun dengan banding. Ia dibebaskan bersyarat pada tanggal 30 Oktober 2006.
Ia menghabiskan empat tahun di dalam penjara. Para kritikus mengatakan bahwa Tommy dibebaskan karena ia kaya dan keluarganya masih memiliki pengaruh di Indonesia.
Foto/Istimewa
Mantan ketua Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar mengagetkan publik pada 2009 silam ketika namanya terseret dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.
Antasari ditangkap dan ditetapkan sebagai aktor intelektual dibalik pembunuhan Nasrudin saat ia hendak membongkar kasus korupsi besar yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi.
Nasrudin ditembak di kepala usai bermain golf di Tangerang, Banten, pada 14 Maret 2009. Ketika mobil yang ia tumpangi bergerak lambat di tepian danau di dekat lapangan golf, tiba-tiba dua pria dengan sepeda motor muncul dari arah belakang kiri mobil.
Salah satu pria kemudian mengeluarkan senjarta api laras pendek dan menambak Nasrudin sebanyak dua kali. Peluru bersarang di pelipis kiri korban. Sempat kritis, Nasrudin yang dilarikan ke Rumah Sakit Mayapada kemudian mengembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (15/3/2009).
Nama Antasari mencuat karena ditemukan bukti pesan singkat yang bernada ancaman terhadap Nasrudin. Antasari pun dijerat dengan dijerat pasal 340 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati. Pada 19 Januari 2010, Antasari dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum yang dipimpin Cirus Sinaga. Majelis Hakim PN Jaksel yang dipimpin Herry Swantoro pada akhirnya memvonis Antasari dengan hukuman penjara selama 18 tahun pada Januari 2010.
Antasari terus mengajukan berbagai upaya hukum demi dibebaskan meski banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK) telah ditolak. Pada Selasa (28/4/2015), tim kuasa hukum Antasari mengajukan permohonan grasi ke Presiden Joko Widodo. Upaya tersebut didukung oleh keluarga Nasrudin.
Akhirnya, Antasari, diputuskan bebas bersyarat pada 10 November 2016 setelah melewati dua pertiga masa pidana. Dia bebas murni pada 2017 setelah Presiden Joko Widodo mengabulkan permohonan grasinya.
Editor : Fabyan Ilat