get app
inews
Aa Read Next : Dirindukan Masyarakat, Tokoh Pluralisme Manado Comeback!

Kisah Ikan Purba Coelacanth, Keberadaannya Terdeteksi di 150 Meter Kedalaman Laut di Perairan Manado

Minggu, 19 Desember 2021 | 19:05 WIB
header img
Salah satu jenis Coelacanth yang ditemukan di Manado pada 2007 silam. (Foto: wikipedia)

SEKIRA Mei 2007, seorang nelayan Indonesia menangkap seekor coelacanth di lepas pantai Provinsi Sulawesi Utara, Manado.
Ikan ini memiliki ukuran sepanjang 131 centimeter dengan berat 51 kg ketika ditangkap. 

Ikan yang ditangkap tersebut terasa asing bagi nelayan yang berdomisili di Kelurahan Bahu, Manado. Dia pun membawa pulang ikan tersebut dan dipelihara selama 1 hari namun tewas.

Ikan tersebut nyaris dibuang sebelum ada saran orang lain kepada nelayan tersebut untuk meneliti jenis ikan tersebut. 

Betapa terkejutnya, setelah diteliti Universitas Sam Ratulangi lewat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang menyatakan ikan yang ditemukan merupakan ikan langka berjenis Coelacanth.

Dikutip Wikipedia, Nama Coelacanth (IPA: [ˈsiːləˌkænθ] SI-lo-kèn) adalah nama ordo (bangsa) ikan yang di masa ini hanya terdiri dari dua spesies di dalam genus Latimeria, yaitu coelacanth Afrika (Latimeria chalumnae) yang ditemukan di dekat pesisir timur Afrika, dan ikan raja laut (Latimeria menadoensis) yang berada di perairan sekitar utara pulau Sulawesi dan peraian Biak di Papua.

Nama "coelacanth" berasal dari nama sebuah genus Coelacanth dari Periode Perem, Coelacanthus, yang merupakan coelacanth pertama yang dinamakan secara ilmiah.

Coelacanth merupakan keturunan dari garis keturunan tertua dari Sarcopterigii (ikan bersirip daging dan tetrapoda), yang berarti mereka berkerabat lebih dekat dengan ikan paru dan tetrapoda seperti amfibireptilburung, dan mamalia daripada dengan Actinopterigii (ikan bersirip duri yang meliputi hampir semua ikan modern). 

Coelacanth termasuk ke dalam subkelas Actinistia, sekelompok ikan bersirip daging yang berkerabat dengan ikan paru dan beberapa ordo ikan dari Periode Devon yang telah punah, seperti OsteolepiformesPorolepiformesRhizodontida, dan Panderichthyidae

Dahulu, coelacanth dianggap telah punah sejak Zaman Kapur Akhir, yakni sekitar 66 juta tahun yang lalu, namun ditemukan kembali pada tahun 1983 di sekitar pesisir Afrika Selatan.

Kata "coelacanth" adalah serapan Inggris dari Latin Modern Cœlacanthus ("duri berongga"), yang berasal dari bahasa Yunani κοῖλ-ος (koilos, "berongga") dan ἄκανθ-α (akantha, "duri"), merujuk kepada duri sirip ekor berongga pada spesimen fosil pertama yang dideskripsikan dan dinamai oleh Louis Agassiz pada tahun 1839. Nama genus Latimeria merupakan penghormatan terhadap Marjorie Courtenay-Latimer yang pertama kali menemukan spesimen pertama.

Sampai saat ini, telah ada 2 spesies hidup Coelacanth yang ditemukan yaitu Coelacanth Komoro, Latimeria chalumnae dan Coelacanth Sulawesi (manado), Latimeria menadoensis.

Hingga tahun 1938, ikan yang berkerabat dekat dengan ikan paru-paru ini dianggap telah punah semenjak akhir Zaman Cretaceous, sekitar 65 juta tahun yang silam. Sampai ketika seekor coelacanth hidup tertangkap oleh jaring hiu di muka kuala Sungai Chalumna, Afrika Selatan pada bulan Desember tahun tersebut. 

Kapten kapal pukat yang tertarik melihat ikan aneh tersebut, mengirimkannya ke museum di kota East London, yang ketika itu dipimpin oleh Nn. Marjorie Courtney-Latimer. 

Seorang iktiologis (ahli ikan) setempat, Dr. J.L.B. Smith kemudian mendeskripsi ikan tersebut dan menerbitkan artikelnya di jurnal Nature pada tahun 1939. Ia memberi nama Latimeria chalumnae kepada ikan jenis baru tersebut, untuk mengenang sang kurator museum dan lokasi penemuan ikan itu.

Di hadapan Nn. Courtenay-Latimer, kurator museum East London. 

Pencarian lokasi tempat tinggal ikan purba itu selama belasan tahun berikutnya kemudian mendapatkan perairan Kepulauan Komoro di Samudera Hindia sebelah barat sebagai habitatnya, tempat beberapa ratus individu diperkirakan hidup pada kedalaman laut lebih dari 150 m. 

Di luar kepulauan itu, sampai tahun 1990-an beberapa individu juga tertangkap di perairan MozambiqueMadagaskar, dan juga Afrika Selatan. Namun semuanya masih dianggap sebagai bagian dari populasi yang kurang lebih sama.

Pada tahun 1998, 60 tahun setelah ditemukannya fosil hidup coelacanth Komoro, seekor ikan raja laut tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara. Ikan ini sudah dikenal lama oleh para nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya di sana oleh dunia ilmu pengetahuan. Ikan raja laut secara fisik mirip coelacanth Komoro, dengan perbedaan pada warnanya. 

Yakni raja laut berwarna coklat, sementara coelacanth Komoro berwarna biru baja.

Ikan raja laut tersebut kemudian dikirimkan kepada seorang peneliti Amerika yang tinggal di Manado, Mark Erdmann, bersama dua koleganya, R.L. Caldwell dan Moh. Kasim Moosa dari LIPI. Penemuan ini kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature

Maka kini orang mengetahui bahwa ada populasi coelacanth yang kedua, yang terpisah menyeberangi Samudera Hindia dan pulau-pulau di Indonesia barat sejauh kurang-lebih 10.000 km. Belakangan, berdasarkan analisis DNA-mitokondria dan isolasi populasi, beberapa peneliti Indonesia dan Prancismengusulkan ikan raja laut sebagai spesies baru Latimeria menadoensis.

Dua tahun kemudian ditemukan pula sekelompok coelacanth yang hidup di perairan Kawasan Lindung Laut (Marine Protected Areas) St. Lucia di Afrika Selatan. Orang kemudian menyadari bahwa kemungkinan masih terdapat populasi-populasi coelacanth yang lain di dunia, termasuk pula di bagian lain Nusantara, mengingat bahwa ikan ini hidup terisolasi di kedalaman laut, terutama di sekitar pulau-pulau vulkanik

Hingga saat ini status taksonomi coelacanth yang baru ini masih diperdebatkan.
 

Editor : Norman Octavianus

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut