JAKARTA, iNews.id - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menyesalkan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat (RUU Adat) mandek sejak 2014 hingga hari ini. Pada periode lalu, Surat Presiden (Surpres) terkait RUU ini sudah turun, tetapi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tak kunjung dikirimkan oleh pemerintah hingga DPR periode lalu berakhir masa kerjanya di 2019.
“Tadi moderator sempat bilang nih kendalanya di mana dan periode kemarinkan surpres sudah turun tapi ini hajap-si hajab bin mustajab (ajaibnya), ibu bapak semuanya, bayangkan saking hajabnya, Surpres turun, DIM-nya enggak ada. Mobil ada, kunci enggak ada,” kata Willy dalam Forum Legislasi yang bertajuk “Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat” di Media Center DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/11/2021).
Ketua Panja RUU Masyarakat Hukum Adat ini menilai, itu sama saja dengan cek kosong karena pembahasan RUU itu tidak bisa dilanjutkan. Hingga akhir periode DPR 2014-2019 lalu, DIM RUU tersebut tak kunjung dikirimkan oleh pemerintah.
Lalu, RUU ini kembali diusulkan di DPR periode sekarang yakni 2019-2024, dan sudah disepakati dalam Rapat Pleno Baleg DPR bahwa RUU ini akan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR sejak 4 September 2020.
“Di-Bamuskan (dibahas di Rapat Badan Musyawarah) sudah, diinterupsi di Paripurna sudah berulang kali, ternyata kalau kita mau jujur, kendala utamanya adalah political will, itu yang menjadi kendala baik di Medan Merdeka (Istana) ataupun di Senayan,” ujarnya.
Padahal, kata Willy, 7 fraksi bersepakat untuk melanjutkan RUU sebagai hak inisiatif DPR dan 2 fraksi menolak. Ternyata, masalah utamanya adalah adanya narasi negatif yang mendiskreditkan RUU ini dengan mempertentangkannya dengan isu pembangunan dan investasi.
Dia menjelaskan, RUU ini tidak hanya mengatur hak atas tanah, hak atas sumber daya alam, hak atas hukum adatnya. Jadi, tidak hanya mengatur hak-hak yang elementer seperti itu tapi RUU ini juga mengatur beberapa kedaulatan yang sifatnya hak untuk menjalankan kepercayaan, yang mana di KTP hanya boleh ditulis 5 agama saja.
Kemudian, Willy mengungkap bangsa Indonesia adalah masyarakat nusantara sebelum Republik Indonesia itu hadir. Bahkan, UNESCO meneliti secara gradual bahwa dua bahasa daerah di Indonesia hilang setiap tahunnya. “Dua bahasa daerah kita secara gradual hilang setiap tahun, kita kan punya setidak-tidaknya 171 bahasa, karena proses penggunaannya tidak pernah di konservasi, tidak pernah ada kebijakan yang untuk melindungi itu dan tidak juga pernah digunakan,” beber Willy.
Willy menambahkan, saat era Orde Baru masih ada kewajiban menggunakan bahasan daerah pada level pendidikan Sekolah Dasar (SD), lalu di level SMP baru pakai bahasa Indonesia. Dan kini kesadaran akan berbahasa daerah itu tidak ada sehingga bahasa daerah hilang satu per satu.
“Sekarang kesadaran itu nggak ada, kita lebih bangga anak kita bisa berbahasa Korea, Mandarin, Inggris, itulah anakku, hebat, tetapi jati diri, kita lupa. Maka kemudian bahasa daerah kita secara gradual hilang setiap tahun dua bahasa daerah, kekayaan yang menjadi modal dasar, bagaimana kemudian kita merawat ini, membuat, mengesahkan, undang-undang masyarakat hukum adat itu sama saja dengan merawat modal dasar ke-Indonesiaan, itu yang paling penting,” tegas Willy.
Editor : Fabyan Ilat