MARIA Josephine Catherine Maramis lahir 1 Desember 1872 dan meninggal 22 April 1924 dan merupakan Pahlawan Sulawesi Utara. Dia dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20.
Perangko Maria Walanda Maramis keluaran tahun 1999. (Istimewa)
Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Pahlawan Sulawesi Utara ini ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk mengembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".
Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini. Fasilitas yang ada saat ini adalah tempat parkir dan pusat perbelanjaan.
Maria lahir di Kema, sebuah desa kecil yang sekarang berada di kabupaten Minahasa Utara, Kecamatan Kema (hasil pemekaran Kecamatan Kauditan) provinsi Sulawesi Utara.
Orang tuanya adalah Bernadus Maramis dan Sarah Rotinsulu.
Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara di mana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries adalah ayah dari Alexander Andries Maramis yang terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.
Maria menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat.
Paman Maria pahlawan Sulawesi Utara yaitu Mayor Ezau Rotinsulu yang waktu itu adalah kepala distrik di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana.
Dari kepindahan itu, Pahlawan Sulawesi Utara inijuga berteman dengan kaum terpelajar misalnya seorang pendeta bernama Jan Ten Hoeve.
Maria beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 terbagi menjadi 8 kelompok etnis (walak) yang berada dalam proses ke arah satu unit geopolitik yang disebut Minahasa dalam suatu tatanan kolonial Hindia Belanda. Sejalan dengan hal ini Hindia Belanda mengadakan perubahan birokrasi dengan mengangkat pejabat-pejabat tradisional sebagai pegawai pemerintah yang bergaji dan di bawah kuasa seorang residen. Komersialisasi agraria melahirkan perkebunan-perkebunan kopi dan kemudian kopra membuat ekonomi ekspor berkembang pesat, penanaman modal mengalir deras, dan kota-kota lain tumbuh seperti Tondano, Tomohon, Kakaskasen, Sonder, Romboken, Kawangkoan, dan Langowan.
Setelah pindah ke Manado, Pahlawan Sulawesi Utara ini mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar.
Editor : Fabyan Ilat