MANADO, iNews.id – Brigjen Junior Tumilaar resmi dicopot Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Puspom AD), dari jabatannya sebagai Inspektur Kodam (Irdam) XIII/Merdeka. Brigjen Junior Tumilaar, jenderal bintang satu itu diduga melanggar hukum disiplin dan pidana militer. Langkah itu dilakukan Puspom AD karena Brigjen Junior Tumilaar diduga melanggar hukum disiplin dan pidana militer atas upaya dia membebaskan Ari Tahiru, warga yang terlibat konflik lahan dengan salah satu perusahaan di Manado. Brigjen Junior Tumilaar juga berkirim surat ke Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang isinya meminta Babinsa tidak perlu diperiksa di Polresta Manado itu menjadi viral di media sosial, pada 21 September 2021 lalu.
"Menindaklanjuti hasil klarifikasi terhadap Brigjen TNI JT di Markas Puspom AD, Jakarta, pada tanggal 22, 23 dan 24 September 2021 serta hasil pemeriksaan para saksi yang terkait dengan pernyataan Brigjen TNI JT, maka telah didapatkan adanya fakta-fakta dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Brigjen TNI JT," kata Komandan Puspom AD, Letjen Chandra W Sukotjo, Sabtu (9/10/2021).
Pasal berlapis pun dikenakan pada Brigjen Junior Tumilaar. Untuk kepentingan proses hukum militer, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa meneken dan mengeluarkan surat perintah pembebastugasan Junior.
"Perbuatan melawan hukum dimaksud adalah pelanggaran Hukum Disiplin Militer dan pelanggaran Hukum Pidana Militer sesuai Pasal 126 KUHPM dan Pasal 103 ayat (1) KUHPM. Atas adanya indikasi pelanggaran Hukum Disiplin Militer dan pelanggaran Hukum Pidana Militer, maka Puspom AD akan melanjutkan proses hukum lebih lanjut terhadap Brigjen TNI JT," jelas Chandra.
"Dan untuk kepentingan tersebut di atas, Kepala Staf Angkatan Darat pada 8 Oktober 2021 telah mengeluarkan Surat Perintah Pembebasan dari Tugas & Tanggung Jawab Jabatan Brigjen TNI JT sebagai Inspektur Kodam XIII Merdeka untuk kemudian ditempatkan sebagai Staf Khusus Kasad," sambung Chandra.
Pada 21 September 2021 lalu, Brigjen Junior Tumilaar menjemput Ari Tahiru dari sel Markas Polresta Manado. Penahanan Ari Tahiru ditangguhkan polisi setelah kasus itu heboh, lantaran Brigjen Junior berkirim surat ke Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kasus ini jadi viral dan sebagian besar warganet membela Brigjen Junior dan menganggap langkah yang dia lakukan sangat berpihak pada masyarakat kecil. Kasus ini seakan jadi akses bagi penegakan hukum persoalan tanah di Sulawesi Utara dan dimana masyarakat kecil selalu pihak yang kalah.
Berikut ini 4 konflik lahan yang terjadi di Sulawesi Utara:
Lahan Tambang Bitung (11 Mei 2021)
Penantian, Sultje Bongga (67), perempuan paruh baya di Bitung sejak Tahun 2000, terbayar lunas pada Mei 2021 lalu. Perkara tanah seluas 4,35 hektar yang terletak di kelurahan Pinasungkulan, kecamatan Ranowulu, kota Bitung dengan Sertipikat Hak Milik (“SHM”) Nomor 204, telah berkali-kali dipindahtangankan dan melawan hukum. Tanah yang dibelinya pada Tahun 1990, terus bermasalah dan dia harus menunggu 21 tahun kemudian untuk mendapat pengakuan hukum atas tanah miliknya. Pengadilan Negeri Bitung mengeksekusi Putusan Pengadilan Negeri (“PN”) No. 54/Pdt.G/1999/PN Btg tahun 2000.
Lahan Garapan Warga (2017)
LBH Manado mendampingi masyarakat Desa Tiwoho, Minahasa Utara, yang terancam kehilangan tanah garapan. Padahal, sebagian warga telah memegang sertifikat tanah, dan sebagian lainnya tercatat dalam register desa. Ikhwalnya, 1990, sebuah perusahaan yang memegang izin Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 120 hektar, datang membeli sebagian tanah warga. Namun, Bupati waktu itu menyatakan, tanah tersebut tidak bisa digunakan sebelum adanya pelunasan. 2005, ada perusahaan baru masuk, namanya PT. Awani Modern Indonesia. Tapi tidak bisa perusahaan baru pakai HGB lama. Tahun 2014 hingga 2017, perusahaan itu ngotot mendapatkan tanah. Sebagian warga masih bertahan karena orang tua-orang tua mereka belum menjual tanah itu.
Lahan Sawit (2018)
Terjadi angtara warga dengan perusahaan sawit di Kabupaten Bolaang Mongondow. Warga menolak kehadiran perusahaan sawit karena mengancam lahan produktif mereka, yang sudah ditanami kelapa, jagung dan padi. Desember 2018, terjadi sengketa lahan seluas 613 hektar. Luasan itu meliputi desa Padang, Timbolango, desa Lolak 1 dan Lolak 2. Dari total luasan tadi, ada 2 perusahaan sawit yaitu PT. Karunia Kasih Indah dan PT. Anugrah Sulawesi Indah. Warga berusaha mempertahankan tanah yang sejak 1954 telah menjadi sumber kehidupan. Warga baru mengetahui masuknya perusahaan sawit pada tahun 2011. Namun, perubahan status lahan dari perkebunan kelapa menjadi perkebunan sawit terjadi pada tahun 2015, lewat rekomendasi Bupati Bolaang Mongondow waktu itu. Konflik itu berdampak penangkapan 2 warga yang menolak kehadiran perusahaan sawit. Mereka dituduh melakukan provokasi dan perusakan fasilitas perusahaan.
Lahan Gogagoman Kotamobagu (2017)
Guru Besar IPB University, Prof Ing Mokoginta mengeluhkan penanganan kasus perampasan tanah milik keluarganya di Kelurahan Gogagoman, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara setelah dilaporkan empat tahun silam (2017).
Tanah keluarga dosen ini seluas 1,7 hektar diduga dirampas oleh mafia tanah dan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN). Meski sudah menang di pengadilan mulai dari PTUN sampai PK di Mahkamah Agung, dan sertifikat turunan 2567 tersebut sudah dibatalkan. Namun hingga kini, tanah masih dikuasai penyerobot. Padahal bukti pidana perampasan tanah ini sangat kuat. Tidak ada jual beli, namun tanah SHM no 98 terbitan tahun 78 yang tertulis berasal dari tanah adat tetiba terbit sertifikat pada tahun 2009 dengan nomor 2567, di atas tanah seluas 1,7 ha. Dalam sertifikat 2567 tersebut tertulis berasal dari tanah negara.
Editor : Fabyan Ilat