Tentang Sejarah Istilah Kambing Hitam dan Adu Domba

PEMBAHASAN Kali ini terkait istilah kambing hitam dan istilah adu domba yang sering dipakai di Indonesia.
Istilah kambing hitam sering ditautkan pada seseorang yang tidak bersalah tetapi menanggung kesalahan orang lain atau lebih jelasnya disebut korban.
BACA JUGA: Astaga! Ketersedian Pangan Menipis, Pemerintah Sri Lanka Sebut Rakyat Akan Kelaparan
Istilah adu domba, sering dipakai pada permusuhan di antara dua kubu yang diadu.
Dikutip berbagai sumber, khususnya dalam buku The 48 Law of Power yang ditulis oleh Robert Greene yang dikutip dari buku A Treasury of Jewish Folklore Nathan Ausubel, 1948, istilah kambing hitam dimulai ketika seorang Gubernur di sebuah daerah melakukan korupsi besar-besaran. Raja negeri itu kemudian mengutus aparat hukum untuk menyelidikinya. Setelah diperiksa, hakim menjatuhi hukuman mati bagi sang gubernur. Lehernya akan dipancung. Eksekusi akan dilakukan di alun-alun kota.
Tiba-tiba, ketika algojo akan melaksanakan tugasnya, seorang pria paruh baya berteriak dan bertanya. “Tuan hakim, dia satu-satunya pemimpin kami, kalau gubernur dipancung lalu siapa yang akan memimpin kami?,” tanyanya.
BACA JUGA: Bocah Tewas Dianiaya Ibu Tiri Diduga Alami Luka Bakar di Perut dan Batok Kepala Diduga Retak
Tuan hakim yang terus didesak rakyat negeri itu tak bisa berbuat banyak. Ia mengubah vonisnya. “Baiklah, karena gubernur punya dua asisten, maka salah satu asistennya akan dihukum sebagai pengganti,” katanya.
Warga senang, gubernur tak jadi dihukum, mereka masih akan memiliki pemimpin. Kesalahannya telah didelegasikan kepada salah satu asistennya. Namun, masalahnya tidak sampai di situ saja. Ini baru seorang asisten, belum sampai ke kambing hitam.
Cara terlumrah saat itu adalah menyerahkan penyelesaian kasus itu kepada tetua adat negeri selaku sesepuh yang dihormati rakyat. Pria tua renta yang sudah agak bugkuk itu naik ke panggung. Ia berdehem berulang kali seolah-olah sedang memikirkan putusan yang terbaik, sementara rakyat negeri itu menunggu putusan tetua adat itu dengan cemas.
Tiba-tiba di depan panggung terdengar suara “Mbeek….mbekkk…” seekor kambing berwarna hitam melintas. Tetua adat memerintah warga untuk menangkap kambing malang itu dan dibawa naik ke panggung. Kambing itu diletakkan di tengah-tengah, antara hakim dan tetua adat.
Kambing hitam itu terus mengembek. Sambil mengelus jenggot kambing bandot itu, tetua adat berkata, “Kesalahan gubernur pemimpin tertinggi kita dan kesalahan kita semua yang menghadiri sidang ini, sudah saya pindahkan ke kambing hitam ini. Sekarang usir dia ke hutan belantara sebagai hukuman baginya,” perintah tetua adat.
Sejak itu, rakyat negeri tersebut masing-masing memelihara kambing hitam, agar ketika ditemukan bersalah di hadapan hukum, bisa menjumpai tetua adat dan membawa kambing itu untuk dikambinghitamkam atas kesalahannya. Hmmm ada-ada saja.
Istilah adu domba banyak terjadi perbedaan pendapat. Namun, penetapan istilah itu dari dunia barat dengan menjadikan domba sebagai objek.
Para peternak domba eropa cenderung tidak menyukai domba yang agresif, dan mereka lebih memilih domba yang penurut. Jadi domba yang menang dalam aduan domba tidak akan dihadiahi domba betina, melainkan mereka akan membiakkan domba yang kalah, demikian seterusnya, sehingga lambat laun keturunannya semuanya menjadi tidak agresif lagi.
Dengan kata lain, dalam konteks penjajahan, kalau ada seorang raja berkuasa, para penjajah tinggal memilih salah satu penantangnya yang “lemah” dan bisa diperalat, kemudian diperlengkapi dengan senjata dan tentara, kemudian diadu dengan sang raja, dan berharap “domba” yang diperalat ini menang (bayangkan dombanya dipersenjatai dengan pisau di tanduknya, jadi bukan menang karena kekuatan sendiri). Kalau sudah menang, tinggal ongkang-ongkang kaki seluruh wilayah ada di bawah kekuasaan “domba penurut” ini, dan sang raja “domba yang agresif” tinggal dibunuh atau dibuang ke tempat antah-berantah supaya tidak bisa menggalang kekuatan lagi.
Editor : Fabyan Ilat