DAHULUNYA Wilayah Bolaang Mongondow sangat luas, sebelum terjadi pemekaran yang akhirnya membuat wilayah tersebut terbagi 5 kabupaten dan kota.
Pemekaran dilakukan dari daerah asalnya Bolaang Mongondow (Bolmong) sehingga melahirkan Kota Kotamobagu, Bolmong Timur, Bolmong Selatan dan Bolmong Utara.
BACA JUGA: Polri Bentuk Satgas Minyak Goreng, Ini Penjelasan Kapolri
Sebelumnya, keberagaman baik agama dan etnis di Bolmong Raya telah tercatat dalam perjalanan kehidupan masyarakat di sana. Kemajemukan tercipta di daerah Bolmong Raya yang mayoritas didiami penduduk dengan agama Islam dan suku Mongondownya.
Berikut sejumlah keberagamana yang terjadi di Bolmong Raya yang jarang diketahui dirangkum iNewsManado dari berbagai sumber:
Bangunan Wuwuk ikon pemukiman Minahasa
Bangunan Wuwuk salah satu desa di Bolmong Timur yang merupakan bukti sejarah. Di desa ini, awal mulanya merupakan lahan pertanian yang diolah sejumlah petani yang berasal dari Desa Wuwuk, Minahasa Selatan. Pemukiman Minahasa yang ada di Bangunan Wuwuk Kecamatan Modayag Kabupaten Bolaang Mongondow ini diperkirakan ada sejak awal abad ke-20. Pada mulanya, keberadaan mereka diperuntukkan untuk membantu pembangunan pemukiman para buruh kontrak yang didatangkan dari daerah Jawa. Hingga sekarang, budaya daerah asal Minahasa masih terus dipelihara di wilayah ini. Salah satunya adalah bentuk rumah yang juga merupakan representasi dari arsitektur tradisional rumah Minahasa yang ada di Desa Wuwuk Kecamatan Tareran Kabupaten Minahasa sebagai daerah asal mereka.
BACA JUGA: Kejagung Bongkar Korupsi Pengadaan Pesawat, Dirut Garuda dan Dua Mantan Komisaris Diperiksa
Desa Liberia dan Purworejo merupakan Permukiman Jawa
Desa Liberia dan Purworejo telah jadi ikon keberadaan etnis Jawa di Tanah Mongondow. Didua desa ini, mayoritas penduduk adalah keturunan Jawa, bahkan bahasa yang digunakan setiap hari merupakan Bahasa Jawa.
Para kuli kontrak yang berasal dari Jawa umumnya terbujuk mulut manis makelar pencari kerja yang dengan mahir mempengaruhi penduduk desa agar mau dijadikan kuli kontrak. Salah satu tujuan pengiriman buruh kontrak adalah di daerah perkebunan kopi di Modayag. Berbeda dengan yang terjadi di Deli, karena setelah kekuasaan Hindia Belanda berakhir di daerah Bolaang Mongondow, atas perintah raja maka buruh kontrak yang ada di Desa Liberia dan Purworejo tetap mengolah tanah perkebunan tersebut. Sampai saat ini, budaya masyarakat di sana masih mencerminkan budaya Jawa.
Multi Etnis di Dumoga Raya
Dumoga Raya merupakan daerah ikonik Toleransi di Bolmong Raa bahkan Sulawesi Utara. Migrasi penduduk ke suatu wilayah tertentu merupakan suatu fenomena akibat adanya pembangunan sarana transportasi dan komunikasi. Penduduk akan berpindah menuju daerah-daerah yang menyediakan fasilitas penunjang maupun tersedianya pasaran kerja. Salah satu program yang ada adalah Transmigrasi dimana program ini telah mulai dijalankan pada 1950. Salah satu lokasi penempatan transmigrasi adalah Kecamatan Dumoga. Penduduk yang dipindahkan umumnya berasal dari Jawa dan Bali.
Mopuya merupakan lokasi penempatan transmigran Jawa mulai dibangun pada tahun 1971-1972. Sebagai proyek nasional, lokasi ini dibangun rumah-rumah transmigran serta bangunan penunjang lainnya seperti sekolah, rumah ibadah dan tempat pertemuan.
Transmigran Jawa yang ditempatkan di desa transmigrasi Mopuya didatangkan dalam beberapa kelompok antara lain: kelompok pertama pada September 1972 sebanyak 100 KK dari Bojonegoro. Gelombang kedua pada Oktober 1973 berasal dari Madiun, Bojonegoro, Kediri, Banyuwangi, Semarang, Pekalongan dan Pati sebanyak 200 KK. Gelombang ketiga pada Januari 1974 berasal dari Jember, Lumajang, Malang dan Blitar dengan jumlah 100 KK.
Sedangkan pada tahap terakhir ditempatkan transmigran yang berasal dari Bali khususnya dari Kabupaten Denpasar, Klungkung, Jembrana dan Gianyar. Mereka ditempatkan di bagian barat berdekatan dengan Desa Mopugad yang ditempati oleh transmigran dari Bali.
Ketika Gunung Agung di Bali meletus sebagian penduduk dipindahkan ke wilayah Bolaang Mongondow khususnya di Desa Werdhi Agung. Sebagai transmigran, umumnya mereka masih memelihara budaya mereka seperti Pura dan sistem bercocok tanam mereka yang dikenal dengan subak.
Pemukiman mereka juga sampai sekarang masih menampakkan ciri khas sebagai orang Bali, bentuk tersebut seperti dinding dan atap rumah yang meniru bentuk aslinya, demikian pula halnya dengan pagar dan gapura dengan rumah mereka. Hal ini sangatlah menonjol sehingga memudahkan mengenal komunitas Bali yang ada di Werdhi Agung dan Kembang Merta.
Editor : Fabyan Ilat