Ini Hitungan dan Dampak Tarif Impor 32 Persen AS ke Indonesia, Bagaimana Tanggapan Prabowo?

JAKARTA, iNewsManado.id - Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menetapkan tarif impor 32 persen terhadap Indonesia.
Angka ini dirasa sangat merugikan dan bisa mengancam ekonomi Indonesia. Sebab, penerapan tarif ini akan berdampak pada beberapa sektor usaha di tanah air.
Menurut grafis yang dirilis Reuters, Kamis (3/4/2025), Indonesia menjadi salah satu negara dengan neraca perdagangan yang negatif (defisit) di mata AS.
Artinya, nilai impor AS dari Indonesia lebih besar dibanding nilai ekspor AS ke Indonesia. Menurut data Gedung Putih yang ditampilkan grafis itu, neraca perdagangan itu minus US$18 miliar.
Hal itu menjadi salah satu landasan utama AS memasang tarif timbal balik yang cukup tinggi kepada Indonesia.
Dilansir berbagai sumber, Defisit perdagangan terjadi ketika negara A membeli (mengimpor) lebih banyak produk fisik dari negara B daripada yang dijual negara A (diekspor) ke negara B.
Sebagai contoh, AS mengimpor barang dari China sebesar US$440 miliar (setara Rp7.000 triliun). Sedangkan barang yang diekspor AS ke China 'hanya' US$145 miliar. Hal ini menyebabkan defisit perdagangan bagi AS sebesar US$295 miliar (setara Rp4.000 triliun).
Dalam menerapkan tarif baru ke China, AS membagi 295 dengan 440. Hasilnya adalah 0,670 atau 67%. Angka itu lantas dibagi dua dan dibulatkan ke atas. Dari situ akan didapat 0,33 atau 34%. Itulah tarif yang dikenakan terhadap China.
Demikian pula, ketika menerapkan tarif terhadap Uni Eropa. Hasil dari rumus Gedung Putih menghasilkan tarif sebesar 20%.
Selain itu, jika melihat data tarif timbal balik yang dirilis, AS juga menyebut Indonesia menetapkan tarif impor 64 persen untuk barang AS. Tarif itu, klaim Gedung Putih, berasal dari manipulasi mata uang dan penghambat perdagangan.
Kebijakan ini tentu memengaruhi Devisa Hasil Ekspor (DHE) Indonesia. DHE merupakan pendapatan yang diperoleh dari penjualan barang atau jasa ke luar negeri. DHE dapat berasal dari ekspor barang ekspor selain sumber daya alam (non-SDA) dan barang ekspor sumber daya alam (SDA).
Untuk menampung DHE SDA, eksportir dapat membuka Rekening Khusus (Reksus) Deposito DHE SDA di bank. Reksus ini khusus untuk penerimaan DHE SDA. Eksportir yang patuh ketentuan DHE dapat memperoleh insentif seperti diskon pajak.
Bagaimana pandangan Presiden Prabowo atas kebijakan tarif Presiden Trump?
Dalam wawancara dengan sejumlah wartawan pada Minggu (6/4/2025), Presiden Prabowo memberikan pernyataannya.
"Kebijakan tarif akan memukul sektor ekspor padat karya seperti tekstil dan sepatu. Karena itu kita harus negosiasi. Negosiasi sebagai negara dan sebagai blok. Sore ini saya berangkat ke Kuala Lumpur untuk bertemu PM Anwar koordinasikan respons ASEAN. Kita juga utus Menko Perekonomian ke Amerika untuk negosiasi langsung," beber Presiden Prabowo.
"Kita harus hargai kebijakan Amerika. Kita berteman dengan Amerika. Untuk DHE sepertinya ada salah pengertian dari mereka. Kita tahan devisa hasil ekspor (DHE) untuk entitas yang menikmati fasilitas dari Republik Indonesia. Mendapatkan kredit dari bank-bank BUMN. Jika ada entitas yang berusaha di Indonesia dengan uang sendiri, atau bawa uang sendiri dari luar negeri, kita tidak atur DHE-nya. Saya rasa ini fair," Jelasnya.
Prabowo menjelaskan, dengan hal itu Indonesia Berdiri di atas kaki sendiri.
"Ini sudah saya bicarakan bertahun-tahun. Karena itu kita sekarang punya Danantara. Sebagai Presiden, saya tidak beri target Danantara investasi berapa besar di mana. Tetapi saya tekankan pentingnya Feasibility Study yang tuntas atas berbagai peluang investasi. Danantara perlu prioritaskan investasi di peluang yang paling banyak membawa impact dan added value," ujarnya.
"Untuk itu, Danantara menjadi salah satu entitas yang diawasi dengan ketat. Diawasi agar kebijakan investasi yang diambil menguntungkan rakyat Indonesia. Proyek-proyek Danantara haruslah sustainable dan mempunyai added value yang tinggi. Dengan sendirinya ini akan mengundang banyak pihak lain yang akan ikut berpartisipasi," pungkasnya.(*)
Editor : Fabyan Ilat