JAKARTA, iNews.id - Miris, mungkin itu ungkapan yang pas digambarkan saat melihat lebih dari 28.000 ton sampah plastik terkait pandemi, seperti masker dan sarung tangan berakhir di lautan.
Dalam beberapa tahun, sebagian dari sarung tangan plastik dan bahan kemasan dari pembelian pandemi itu berputar-putar di Kutub Utara.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada 8 November di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, sebagian besar plastik tersebut 87,4% berasal dari rumah sakit, sementara 7,6% berasal dari individu. Pengemasan dan alat uji masing-masing menyumbang sekitar 4,7% dan 0,3% dari limbah.
Tim mengembangkan model untuk memprediksi berapa banyak sampah plastik ini berakhir di laut setelah dibuang. Mereka memperkirakan bahwa, pada 23 Agustus, sekitar 28.550 ton sampah plastik berakhir di lautan setelah terbawa 369 sungai besar, menurut The Guardian.
Dalam waktu tiga tahun, sebagian besar sampah imbas pandemi itu akan bergeser dari permukaan laut ke pantai dan dasar laut. Kemudian lebih dari 70% terbawa ke pantai pada akhir tahun, tulis para penulis.
Sementara dalam jangka pendek, sampah tersebut akan berdampak pada lingkungan pesisir di dekat sumber aslinya. Dalam jangka panjang, tumpukan sampah dapat terbentuk di laut terbuka.
Para peneliti juga memprediksi bahwa apa yang disebut zona akumulasi plastik sirkumpolar akan terbentuk pada tahun 2025.
"Pandemi COVID-19 baru-baru ini telah menyebabkan peningkatan permintaan plastik sekali pakai , meningkatkan tekanan pada masalah yang sudah di luar kendali ini," tulis penulis penelitian.
Secara khusus, studi ini menyoroti kebutuhan akan sistem yang lebih baik untuk mengumpulkan, mengolah, dan membuang sampah plastik medis di negara berkembang, untuk menjauhkannya dari sungai. Selain itu, perlu juga membatasi penggunaan plastik sekali pakai dan mencari alternatif lain.
Editor : Fabyan Ilat